sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Narasi new normal dan 'tren' penjemputan paksa jenazah Covid-19

Di era new normal, narasi yang digaungkan justru pelonggaran.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Selasa, 28 Jul 2020 17:05 WIB
Narasi new normal dan 'tren' penjemputan paksa jenazah Covid-19

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai maraknya penjemputan jenazah pasien Covid-19 dipicu oleh narasi new normal.

Berbeda dengan era pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di mana narasi pengetatan lebih dominan, di era new normal, narasi yang digaungkan justru pelonggaran.

Pada fase PSBB, petugas kesehatan, rumah sakit, hingga polisi dinilai berani menindak tegas pelaku penjemputan paksa jenazah pasien Covid-19. Misalnya, dalam kasus penjemputan paksa jenazah pasien Covid-19 di Surabaya, Kalimantan, dan Jawa Barat.

Namun, hal itu dinilai tidak terjadi saat memasuki era new normal. “(Di era new normal) sekarang tidak ada tindakan demikian (tegas pada pelaku penjemput jenazah pasien Covid-19) karena orang sudah berani ngomong terbuka, sekarang bukan PSBB, sekarang kan new normal. Jadi, stempel new normal itu membuat masyarakat bisa bernegoisasi,” ujar Komisoner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam dalam konferensi pers virtual, Selasa (28/7).

Di era new normal, penjemputan paksa jenazah pasien Covid-19 dianggap bisa dibenarkan dengan dalih untuk melakukan ritual keagamaan, hingga penghormatan dari aspek kebudayaan.

“Di NTT ada beberapa kali kasus diberitakan media, di luar Jawa. (Juga) saya tahu persis, di tempat saya, di Malang sana, saya dapat kabar dari tetangga-tetangga saya, seminggu lalu juga begitu. Sudah dikubur (dengan protokol Covid-19) dibuka makamnya, diprosesi ulang sesuai keyakinan dan keagamaannya,” tutur Choirul.

Menurut Choirul, penjemputan paksa jenazah pasien Covid-19 dan penguburan ulang telah menjadi tren yang dilakukan secara terbuka. 

“Beberapa daerah kalau kita monitoring, mengambil kebijakan alternatif untuk daerah masing-masing yang belum tentu juga ada payung hukumnya. Payung hukumnya tidak memungkinkan mereka untuk melakukan pengetatan, berbeda dengan fase awal (PSBB),” ucapnya.

Sponsored

Di sisi lain, kata dia, Indonesia belum siap menghadapi konsekuensi dari pelonggaran PSBB. Sebab, tidak diimbangi dengan penambahan petugas dan alat-alat medis secara signifikan.

Choirul menilai, dalam penanganan Covid-19 tidak ada realisasi yang progresif. Semakin lama bukannya membaik, tetapi justru memburuk.

“Kami mencatat, tantangan paling berat adalah fase pascastatus new normal ini dan bisa juga kebijakan-kebijakan (penanganan) Covid-19. Apakah daerah tersebut bisa mengajukan status PSBB. Kebijakan nasionalnya new normal, bukan darurat kesehatan. Bukan dalam kondisi karantina kesehatan atau dalam konteks PSBB,” pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid