sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Puncak pandemi belum terlewati, rem darurat Covid-19 jangan setengah hati 

Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat pada 11-24 Januari tidak akan efektif kalau bukan berupa larangan.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Kamis, 07 Jan 2021 17:09 WIB
Puncak pandemi belum terlewati, rem darurat Covid-19 jangan setengah hati 

Penambahan jumlah kasus harian pasien positif Covid-19 kembali memecahkan rekor, Rabu (6/1) lalu. Pada hari itu, ada tambahan 8.854 kasus baru. Dengan tambahan itu, total kasus positif Covid-19 yang dicatat pemerintah sepanjang pandemi telah mencapai 788.402 kasus. 

Rekor penambahan kasus Covid-19 juga tercatat tiga hari sebelumnya atau pada Minggu (3/1). Ketika itu, total ada tambahan 8.369 kasus positif Covid-19 yang baru. Artinya, ada dua rekor penambahan jumlah kasus Covid-19 tercatat hanya dalam sepekan. 

Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, menyebut momen-momen libur panjang pada pengujung 2019 sebagai biang keladi naiknya jumlah kasus Covid-19 secara signifikan. Menurut dia, publik cenderung abai menjalankan protokol kesehatan pada masa liburan.

"Memang terjadi fluktuasi kasus dan lonjakan-lonjakan kasus ini terjadi pada saat liburan panjang rupanya. Kepatuhan masyarakat terlihat menurun pada saat liburan," kata Wiku dalam dialog virtual bersama sejumlah duta besar RI di luar negeri sebagaimana ditayangkan akun Youtube Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Selasa (5/1).

Wiku mencontohkan tren lonjakan kasus Covid-19 periode Maret-Juli. Dipengaruhi momen liburan Idul Fitri, kasus Covid-19 melonjak dari sekitar 1.107 kasus menjadi 37.342 kasus. Jika dihitung per bulan, lonjakan kasus juga tercatat pada periode Agustus-Oktober, yakni dari 39.354 naik menjadi 66.578 kasus.

"Dan pada periode ini juga terjadi libur panjang, tanggal 17, 20 hingga 23 Agustus. Parahnya lagi, kenaikan tertinggi pada periode November-Desember. Kasus aktifnya dua kali lipat. Dari 54.804 menjadi 103.239 kasus hanya dalam satu bulan," ujar Wiku. 

Wiku belum menghitung lonjakan kasus positif yang dipicu liburan Natal dan Tahun Baru 2021. Ia memperkirakan puncak lonjakan kasus bakal baru terlihat dalam 10-14 hari ke depan. "Tinggal kita lihat kepalanya di awal liburan tanggal 24 (Desember)," jelas Wiku.

Menurut Wiku, tren kenaikan ini menjadi alarm bagi semua pihak untuk kian taat protokol kesehatan. Menurut dia, penyebab utama kenaikan kasus Covid-19 ialah kerumunan. "Karena masih diberi kesempatan oleh orang-orang Indonesia yang masih berkerumun," cetusnya. 

Sponsored

Data terbaru yang dirilis situs worldometers pada 7 Januari 2021 menunjukkan Indonesia masih bertengger di posisi 21 sebagai penyumbang kasus Covid-19 terbesar dunia. Total sudah ada 23.109 pasien Covid-19 yang meninggal di Tanah Air karena penyakit yang disebabkan virus asal Wuhan, China itu.

Saat ini, Satgas Covid-19 mencatat sudah ada 54 kabupaten dan kota yang berstatus sebagai zona merah atau berisiko tinggi sebagai daerah penularan. Dari peta sebaran Covid-19 tersebut, Jawa Tengah memimpin dengan 9 kabupaten dan kota. 

Menyikapi potensi lonjakan kasus pada pengujung Januari, pemerintah berencana bakal kembali memperketat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jawa dan Bali pada periode 11-25 Januari 2021. Posko Covid-19 di berbagai daerah juga kembali diaktifkan. 

"Pemerintah akan terus memantau pelaksanaan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat ini dengan melakukan evaluasi dan monitoring secara intensif," kata Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) Airlangga Hartarto dalam konferensi pers virtual, Rabu (6/1) lalu. 

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menkes Budi Gunadi Sadikin memberikan keterangan pers di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (04/01/2021).  Foto Dok. Humas Setkab

Tak boleh setengah hati 

Epidemolog dari Universitas Indonesia (UI) Syahrizal Syarif mengatakan pemerintah tak boleh setengah hati dalam upaya mengantisipasi lonjakan jumlah kasus. Menurut dia, PSBB yang diberlakukan selama ini tidak efektif karena bukan berbentuk larangan. 

"Bagaimana pemerintah menerapkannya? Ini kan lagi beberapa hari menjelang 11 Januari, harusnya pemerintah merincikan apa yang berbeda dari PSBB lalu. Kalau hanya sekadar PSBB yang lalu, mungkin hanya berdampak pada penurunan pergerakan," kata Syahrizal kepada Alinea.id di Jakarta.

Ia menyebut data harian yang diumumkan pemerintah bukan data riil penyebaran kasus Covid-19. Pasalnya, jumlah spesimen yang diperiksa, baik oleh pemerintah dan swasta, masih terbatas. November lalu, misalnya, pemerintah mengumumkan memeriksa sekitar 33-40 ribu spesimen per hari.

"Karena pemeriksaan kita terbatas. Jadi, kita hanya akan melihat angka-angka fluktuatif setiap hari. Hari ini enam ribu, besok tujuh ribu kasus. Kalau Anda melihat angka delapan ribu, itu bukan karena peningkatan kasus di masyarakat. Itu hanya gara-gara laporan dari daerah itu tertunda, ngumpul begitu," kata dia. 

Jumlah kasus Covid-19 di Indonesia, kata Syahrizal, bisa mencapai 1,5-2 juta kasus jika Indonesia mampu memeriksa seratus ribu spesimen per hari seperti India dan Brasil. "Kalau itu tidak terjadi, ya, kita akan selalu dalam situasi fluktuaktif seperti Amerika atau Inggris saat ini," ujarnya.

Berbasis data jumlah kasus harian yang terus fluktuatif itu, Syahrizal menyebut Indonesia belum mencapai puncak pandemi. Puncak wabah bakal terlewati jika selama dua kali masa inkubasi terjadi penurunan jumlah kasus secara siginifikan. 

"Situasinya lampu merah karena kita tahu nanti sekitar Februari itu bakal ada sekitar satu juta kasus positif Covid-19 dan itu artinya beban (pelayanan) kesehatan (bertambah) sekitar 70-80% dari beban pelayanan kesehatan yang sekarang," kata dia. 

Epidemolog Pandu Riono berpendapat kebijakan apa pun yang diambil pemerintah tidak akan efektif selama pandemi Covid-19 tidak ditempatkan sebagai krisis kesehatan. Menurut Pandu, sejak awal pemeritahan Jokowi cenderung mengutamakan pemulihan perekonomian. 

"Jadi, kita harus prioritaskan kesehatan dulu. Negara-negara yang mengatasi krisis kesehatan, begitu berhasil, pemulihan ekonominya jadi lebih mudah. Problem utamanya di krisis kesehatan," jelas Pandu kepada Alinea.id, Rabu (6/1). 

Pandu juga mengkritik gembar-gembor vaksin sebagai obat mujarab melawan pandemi. Menurut dia, pemerintah tidak seharusnya mengandalkan vaksinasi sebagai senjata utama mengatasi pandemi Covid-19. Apalagi, efektivitasnya belum teruji. 

"Itu kan salah. Emang vaksin senjata pamungkas? Sampai sekarang vaksin aja belum ada. Terus kemarin pengiriman diupacarakan kayak pembukaan lari marathon. Kita demen dengan gitu-gituan," kata Pandu.

Meskipun terlambat, Pandu menyarankan pemerintah segera mengeluarkan kebijakan penanganan pandemi yang lebih komprehensif dan tegas. "Ya, harus tarik rem lagi. Enggak ada pilihan lagi. Kecuali rumah sakit kita cukup. Rumah sakit kondisinya udah kayak gini. Mau diapain?" kata dia.

Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor menunjukkan hasil tes cepat (rapid test) pendektesian COVID-19 kepada orang dalam pengawasan (ODP) di Bogor, Jawa Barat, Minggu (22/3/2020). Foto Antara/Yulius Satria Wijaya.

Perkuat kolaborasi dengan daerah 

Pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menyebut penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia tidak efektif karena problem koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. 

Trubus menyoroti Inpres Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 yang dikeluarkan Jokowi pada Agustus 2019. 

Menurut dia, Inpres itu tidak serius dijalankan pemerintah daerah dan instansi terkait lainnya karena pemerintah pusat juga terkesan lebih ingin menyelamatkan kondisi perekonomian nasional. 

"Ini mengindikasikan bahwa pusat menyerahkan kepada daerah. Ada tarik-menarik antara daerah dan pusat dalam penanganan Covid-19 sehingga ketika pemerintah lebih fokus pada persoalan ekonomi, penanganan Covid-19 jadi lengah, abai," ujar dia kepada Alinea.id

Trubus juga sepakat perlu ada kebijakan yang lebih tegas dalam penanganan pandemi. "Kita harus memutus penyebaran kuat. Harus membuat kebijakan yang memperketat zona-zona merah karena sudah semua daerah hampir kena," ujar Trubus. 

Infografik Alinea.id/Bagus Priyo

Mantan Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi menilai Indonesia sudah "ketinggalan kereta" dalam penanganan Covid-19. Menurut dia, opsi lock down atau karantina wilayah seharusnya dipilih pemerintah sejak awal.  

"Kalau mau narik rem, rem seperti apa lagi? Ini kan sudah ditarik berkali-kali remnya," kata Dede Yusuf saat dihubungi Alinea.id, Selasa (5/1).

Menurut Yusuf, pemerintah sudah berupaya mengejar ketertinggalan tersebut. Di sisi lain, ia meminta publik juga harus berkontribusi dengan menjalankan protokol kesehatan secara ketat. 

"Jadi, kuncinya bukan rem yang ditarik, kuncinya kesadaran kita semuanya. Kita enggak bisa menyalahkan pemerintah dalam hal ini. Pemerintah di mana pun megap-megap dalam kondisi pandemi seperti ini," ujar politikus Partai Demokrat itu.
 

Berita Lainnya
×
tekid