close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pekerja migran Indonesia. /Foto AFP
icon caption
Ilustrasi pekerja migran Indonesia. /Foto AFP
Nasional
Kamis, 06 Juni 2024 17:06

Sengsara Titin dan buruk rupa penempatan PMI di Taiwan

Hanya beberapa bulan bekerja, Titin dipecat bosnya. Kini, ia dan suami telantar di Taiwan.
swipe

Setahun sebelum dipastikan diterima kerja di sebuah perusahaan pengolahan makanan beku Taiwan, Titin Putri Febrianti sudah membayangkan hidupnya akan jauh membaik. Namun, asa perempuan berusia 23 tahun itu seketika buyar. Hanya beberapa bulan bekerja, Titin dipaksa angkat kaki oleh bosnya. 

Titin berangkat ke Taiwan bersama suaminya, Zanuari, pada Januari 2024. Hanya beberapa hari setelah bekerja, Titin pingsan karena kelelahan. Belum sempat beradaptasi dengan budaya kerja di pabrik, Titin kembali sakit-sakitan. Pada Maret 2024, sang bos memecat perempuan asal Lampung itu. 

"Majikan mengatakan bahwa saya tidak mampu bekerja. Kemudian, pada malam harinya, pihak agency mendatangi mes saya memberi policy (kebijakan), pulang ke Indonesia atau putus kontrak. Saya sangat kaget," ucap Titin saat dihubungi Alinea.id dari Jakara, belum lama ini. 

Titin tak mau dipaksa pulang. Supaya bisa bekerja di Taiwan, ia dan suami sudah mengeluarkan duit hingga sekitar Rp200 juta. Duit itu diperoleh Titin dari berutang ke bank, serta menjual tanah dan sawah milik mertua. 

"Saya ditekan malam itu. Mau enggak mau harus tanda tangan milih salah satu (opsi). Tetapi, saya tidak mau tanda tangan," ujar Titin. 

Untuk tiba di Taiwan, Titin dan suaminya menggunakan jasa Blue Diamond,  sebuah perusahaan penempatan PMI yang berbasis di Majalengka, Jawa Barat. Khusus untuk biaya penempatan saja, ia dan suami merogoh kocek sebesar Rp130 juta. 

"Rp110 juta dibayarkan secara cash (tunai), Rp20 juta utang ke sponsor. Yang Rp70 juta untuk transportasi, uang saku, pengurusan dokumen serta vaksin saya dan suami. Jadi, biayanya membengkak," ucap Titin.

Karena tak kunjung dipekerjakan lagi, Titin mengadu kepada otoritas tenaga kerja setempat dan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taiwan. Ia juga mengadu Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas (Ganas) sehingga akhirnya diperbolehkan tinggal sementara di shelter Ganas.

Diadukan ke otoritas tenaga kerja setempat dan KDEI, bos Titin geram. Suami Titin yang juga bekerja di pabrik yang sama turut kena imbas. Tak lama setelah Titin, Zanuari juga dipecat. 

"Ada korban lagi, selain saya. Cuma belum berani speak up. Sementara ini, baru empat orang yang mau speak up. Kami saat ini sekarang tinggal di shelter (penampungan)," ucap Titin.

Ketua Pimpinan Pusat Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi) Karsiwen mengatakan sengsara yang dialami Titin dan sejumlah rekannya tak langka. Menurut dia, penempatan PMI kerap diwarnai praktik-praktik pemerasan dan eksploitasi oleh perusahaan pengirim. 

Sesuai keputusan Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Nomor 23 Tahun 2023, biaya penempatan PMI seharusnya tak sampai Rp25 juta. Praktiknya, biaya penempatan bisa membengkak hingga Rp50 juta. 

"Ketika para calon pekerja migran ini minta bukti untuk membayar Rp25 juta itu, banyak perusahaan yang menolak. Kalau enggak mau membayar atau tanda bukti terima Rp50 juta, biasanya mereka menyarankan untuk mencari PT yang lain. Banyak sekali pekerja migran terpaksa mengikuti permintaan agensi," ucap Karsiwen kepada Alinea.id, Kamis (18/4).

Oleh perusahaan, utang biaya penempatan diganti potongan gaji yang tinggi. Karena upah disunat, sebagian PMI bahkan tak bisa mengirim duit ke kampung halam mereka. Supaya PMI patuh, menurut Karsiwen, pihak perusahaan biasanya menahan dokumen-dokumen para buruh migran, semisal ijazah asli, KTP, kartu keluarga, dan surat nikah.

"Mereka (agensi) juga akan mengancam keluarga atau menghubungi keluarga kalau pihak pekerja yang dari Taiwan itu mengalami permasalahan semisal mereka di-PHK sebelum selesai kontrak. Akhirnya, PMI tidak bisa membayar potongan. Banyak sekali yang diteror dan didatangi," ucap Karsiwen. 

Khusus di Taiwan, menurut Karsiwen, derita PMI berlipat ganda lantaran pemerintah Taiwan memperbolehkan agensi setempat mengambil keuntungan dari pelayanan yang mereka berikan dalam penempatan pekerja migran. Karena regulasi itu, biaya penempatan PMI bahkan bisa membengkak hingga dua kali lipat.

Meskipun praktik-praktik overcharging dan eksploitasi PMI oleh perusahaan marak, menurut Karsiwen, tak ada tindakan tegas Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dan BP2MI. Perusahaan-perusahaan yang kerap dilaporkan oleh PMI masih tetap terdaftar sebagai agensi resmi penempatan di BP2MI. 

"Tetapi, kenyataannya mereka hanya diam-diam saja, tanpa ada penegakan hukum. Kalau tidak ada monitoring atau penegakan hukum, perusahaan (penempatan PMI) pasti akan terus melakukan praktik tersebut," ujar Karsiwen.

Implementasi UU Perlindungan PMI

Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno menilai biaya penempatan buruh migran masih sangat mencekik. Itu karena Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 terkait Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU Perlindungan PMI) belum diimplementasikan tegas. Tertera pada pasal 30 beleid tersebut, calon pekerja migran tidak dibebankan biaya penempatan. 

"Lalu, mandat UU itu untuk mengatur pembiayaan diserahkan kepada BP2MI melalu peraturan badan, sehinggal lahir Perban Nomor 09 Tahun 2019 dan beberapa kepka (keputusan Kepala BP2MI). Struktur pembiayaan yang dimaksud adalah dibiayai oleh negara dan pemberi kerja," ucap Hariyanto kepada Alinea.id, Selasa (28/5).

Persoalannya, pemerintah daerah tak punya anggaran untuk membiayai penempatan PMI. Di lain sisi, banyak perusahaan di negara tujuan juga yang menolak mengeluarkan duit untuk "mengongkosi" PMI. "Khususnya Taiwan," jelas Hariyanto.

Problem lainnya, menurut Hariyanto, layanan terpadu satu pintu yang dimandatkan UU Perlindungan PMI untuk memangkas proses birokrasi penempatan PMI juga belum efektif dan cenderung belum menjadi rencana strategis pemerintah kabupaten atau kota.  

"Masih tinggi ego sektoral di pemerintah daerah, yang kami duga, jadi penghambat implementasi dan ini juga menjadi kebingungan di pemerintah daerah. Walaupun kabupaten yang sudah ada LTSA (layanan terpadu satu atap), masih perlu pembenahan dari segi SDM dan infrastrukturnya," kata Hariyanto.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan