sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Di balik nihilnya protokol corona di Sunda Kelapa 

Kapal-kapal bebas berlalu lalang dari dan ke Pelabuhan Sunda Kelapa tanpa pemeriksaan terlebih dahulu.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Minggu, 12 Jul 2020 16:18 WIB
Di balik nihilnya protokol corona di Sunda Kelapa 

Sayup suara ombak menyusup hingga ke ruang-ruang sempit Kapal Hati Mulia Abadi yang tengah bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, Minggu (5/7) petang itu. Tiba di pelabuhan itu dua hari sebelumnya, kapal berjenis phinisi itu baru saja tuntas membongkar muatannya. 

Di anjungan kapal, Ambo Tuo, sang kapten, sedang bercengkerama dengan enam anak buahnya. Beragam kisah dari masa lalu diungkap pria berusia 54 tahun itu, mulai dari cerita-cerita tragis saat melaut hingga perlakuan pemilik perusahaan yang kerap semena-mena. 

Tak hanya itu, Ambo juga menyinggung pandemi Covid-19 yang kini juga menghantui dunia pelayaran. Melihat kondisi pelabuhan yang kerap mengabaikan protokol kesehatan, ia mengaku khawatir terhadap nasib anak-anak buahnya. 

Di Sunda Kelapa, misalnya. Hampir semua kapal bisa masuk ke pelabuhan tanpa screening. "Sama sekali enggak ada pemeriksaan. Padahal, itu penting untuk memastikan ada yang kena corona apa enggak," ujar pria asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu. 

Para "penguasa" pelabuhan rakyat, kata Ambo, cenderung menganggap enteng bahaya Covid-19. Namun, Sunda Kelapa yang terparah. "Contoh, di Palembang. Begitu sampai pelabuhan, kami enggak bisa langsung mendarat. Kami diperiksa dulu sama pihak kesehatan," ujar dia. 

Ambo mengungkapkan ia dan anak buahnya juga tak pernah diperhatikan pihak perusahaan. Tak ada upaya dari perusahaan untuk memastikan para pegawainya aman dari Covid-19 lewat rapid test atau swab test. "Jujur sama sekali enggak ada. Padahal, Jakarta merupakan zona merah corona," imbuh pria yang mulai melaut sejak 1981 itu. 

Aktivitas bongkar muat di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, Minggu (5/7). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Minimnya protokol kesehatan di pelabuhan juga diamini Nanang, salah satu awak kapal Bina Setia. Pria asal Sampit, Kalimantan Tengah itu mengaku tak pernah mendapat pemeriksaan Covid-19 layaknya di pelabuhan lain yang pernah ia singgahi. 

Sponsored

"Di sini (Sunda Kelapa) mah sama sekali enggak ada tes Covid-19," ucap pria berusia 43 tahun itu saat berbincang dengan Alinea.id di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa. 

Jika dibandingkan, ia menyebut, pelabuhan-pelabuhan rakyat di daerah justru lebih waspada. Di Palembang dan Jambi, misalnya. Nanang menuturkan, pengawasan terhadap kapal-kapal dari Jakarta sangat ketat karena kekhawatiran akan bahaya Covid-19.

"Bahkan, kami pernah enggak bisa belanja logistik langsung ke pasar.  Itu awal-awal adanya Covid-19. Kami dikhawatirkan (terjangkit dan)  menyebarkan virus ke masyarakat di sana," ucap Nanang. 

Ia mengaku tidak tahu kenapa otoritas pelabuhan cenderung abai terhadap bahaya Covid-19. "Padahal, risiko (menyebarkan Covid-19 besar). Pemeriksaan di pelabuhan lain juga kadang cuma pemeriksaan suhu tubuh aja," jelas Nanang. 

Virus Covid-19 memang potensial menyebar di kawasan pelabuhan. Itu setidaknya terbukti dari kemunculan klaster penularan di Pelabuhan Batam, Riau; Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang; dan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, pada Juni lalu. Ratusan orang bahkan dinyatakan positif Covid-19 karena tertular dari klaster Tanjung Emas.  

KM Lambelu bersandar usai beberapa ABK-nya dinyatakan positif Covid-19 di Pelabuhan Peti Kemas, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa ( 14/4/2020). Foto Antara/Abriawan Abhe

Pelabuhan Sunda Kelapa salahi aturan?
  
Meskipun Sunda Kelapa hanya pelabuhan rakyat, Direktur National Maritime Institute Siswanto Rusdi menilai protokol kesehatan seharusnya tetap berjalan. 

"Di mana-mana kalau lagi musim wabah begini kapal tunggu dulu. Jangan langsung sandar. Jemput dan diperiksa dulu. Itu protokolnya," jelas Siswanto kepada Alinea.id

Menurut Siswanto, Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Sunda Kelapa sudah mengabaikan tugas dan fungsinya sebagai otoritas pelabuhan. Pada masa pandemi, kesehatan para penghuni pelabuhan seharusnya menjadi tanggung jawab KSOP. 

"Mungkin karena Sunda Kelapa ini pelabuhan kecil, akhirnya KSOP masa bodoh. Kalau enggak ada pemeriksaan (kesehatan), berarti otoritas syahbandar Sunda Kelapa yang ngaco," kata Siswanto. 

Siswanto mengatakan, minimnya protokol kesehatan yang berlaku di pelabuhan rakyat juga dipengaruhi saling lempar tanggung jawab. Pemerintah berdalih keselamatan awak kapal merupakan tanggung jawab perusahaan. Begitu pula sebaliknya. 

"Perhubungan laut itu tidak jelas. Mereka menganggap ABK itu tanggung jawab perusahaan. Jadi, mereka enggak mau melakukan rapid test. Sementara, perusahaan pelayaran ini cenderung menomorduakan ABK. Itu terjadi enggak hanya di Sunda Kelapa, tapi di tempat lain juga," ujarnya.

Diakui Siswanto, tak semua perusahaan kapal angkut memiliki kondisi keuangan yang sehat. Namun demikian, tak sedikit pula pengusaha pelayaran yang sebenarnya mampu menggelar rapid test massal bagi para anak buah kapal (ABK).  

"Sebenarnya cukong-cukong itu kaya raya dan mereka sebenarnya mampu untuk menyediakan rapid test. Tapi, memang pada dasarnya mereka enggak mau memenuhi hak-hak pelaut. Sebenarnya memang pihak perusahaan yang mestinya melakukan tes Covid-19. Lagi pula, pemerintah juga enggak bisa diharapkan," kata dia. 

Terkait kondisi Pelabuhan Selat Sunda, Siswanto meminta agar Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan segera bertindak. "Berarti Kepala KSOP Sunda Kelapa itu harus ditegur sebab dia sudah abai," kata dia. 

Saat dikonfirmasi, Kepala KSOP Sunda Kelapa Ridwan Chaniago mengakui upaya pencegahan Covid-19 di Pelabuhan Sunda Kelapa belum optimal. Menurut dia, pihak pelabuhan hanya baru menjalankan protokol kesehatan yang umum untuk mencegah penyebaran Covid-19.

"Penanganan di Pelabuhan Sunda Kelapa telah dilaksanakan sesuai protokol kesehatan seperti social distancing, wajib masker dan penyediaan hand sanitizer," ujarnya.

Sejumlah kapal phinisi bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa, Minggu (5/7). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Pelabuhan rakyat wajib diawasi

Meskipun aktivitasnya tak seramai pelabuhan modern seperti Pelabuhan Batam dan Tanjung Emas, anggota Dewan Pembina Persatuan Pelayaran Rakyat (PELRA) Chandra Motik mengatakan, tak seharusnya pemerintah menganaktirikan pelabuhan rakyat dalam penanganan Covid-19. 

"Mestinya diperiksa. Jangan anggap remeh pelabuhan rakyat. Mereka  juga punya risiko (jadi klaster penularan Covid-19) sebab kapal-kapal itu melanglangbuana ke mana-mana," ujar Chandra kepada Alinea.id, Selasa (7/7).

Secara khusus, Chandra meminta pihak otoritas Pelabuhan Sunda Kelapa tak menganggap enteng bahaya Covid-19. Apalagi, Jakarta merupakan salah satu provinsi dengan jumlah kasus positif Covid-19 terbesar. "Jakarta merupakan zona merah yang tentu riskan bagi pelaut dan daerah lain," ucapnya.

Chandra juga meminta perusahaan-perusahaan pelayaran tidak tutup mata terhadap keselamatan awak kapal di tengah pandemi. "Harusnya menjaga. Bila ada anak buahnya yang kena Covid-19, yang susah mereka juga. Mestinya menyediakan alat untuk memastikan sebelum berangkat mereka itu bebas dari Covid-19," tutur dia. 

Saat dikonfirmasi, Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Wisnu Handoko mengungkapkan penanganan pandemi Covid-19 telah menguras anggaran Kemenhub. Minimnya anggaran membuat tidak semua pelabuhan bisa menerapkan protokol kesehatan secara komprehensif. 

"Dana yang tersedia yang ada dioptimalkan untuk kegiatan pencegahan penyebaran Covid-19 di masing-masing UPT (unit pelayanan terpadu). Kegiatan yang dilakukan adalah untuk pembelian masker, sarung tangan, hand sanitizer, dan thermo gun," ujar dia. 

Jangankan untuk mengetes para ABK, menurut Wisnu, Ditjen Hubla bahkan tidak "mampu" menggelar tes kesehatan bagi para pegawainya di lapangan. "Tidak ada alokasi anggaran khusus bagi seluruh pegawai Ditjen Hubla untuk kegiatan rapid test maupun swab test," terang dia. 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid