close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi tempat ibadah umat Baha'i. Alinea.id/Enrico P.W.
icon caption
Ilustrasi tempat ibadah umat Baha'i. Alinea.id/Enrico P.W.
Nasional
Minggu, 08 Agustus 2021 15:52

Testimoni kaum Baha'i: Prinsip kami, semua manusia sama di mata Tuhan

Umat Baha'i sudah hidup di Nusantara jauh sebelum Indonesia merdeka.
swipe

Rina Chua Leena mengaku cemas saat agama Bahai yang ia peluk jadi sorotan pemberitaan media massa dalam beberapa pekan belakangan. Ia khawatir eksposur terus-menerus terhadap Baha'i memperuncing silang pendapat di masyarakat. 

"Mengekspose keadaan komunitas Bahai bisa memancing pendapat macam-macam. Takut bikin orang panas. Ini karena politik dan lain sebagainya sudah sangat memecah belah bangsa," kata Rina kepada Alinea.id, Rabu (4/8). 

Eksistensi Baha'i memicu polemik setelah video ucapan selamat Hari Raya Naw-Ruz 178 dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ke komunitas Baha'i mendadak viral, akhir Juli lalu. Ucapan itu memantik kritik dari berbagai pihak, mulai dari kalangan ulama hingga politikus.  

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis, misalnya, meminta agar pemerintah tidak menyamakan perlakuan antara enam agama yang diakui negara dengan agama atau aliran kepercayaan lainnya yang belum mendapat pengakuan negara. 

Cholil bahkan menyebut pemerintah tidak perlu melayani atau memfasilitasi penganut Bahai dan agama-agama yang tidak diakui negara. "Baha'i yang sudah jadi komunitas agama jangan menodai agama lain," kata Cholil.

Dalam sebuah tulisan, Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Fahmi Salim mengatakan Baha'i adalah sekte yang lahir dari percampuran banyak agama dan filsafat, di antaranya Buddhisme, Brahmaisme, Paganisme, Zoroaster, Yahudi, Kristen, dan Islam. 
 
"Pondasinya dibangun di atas reruntuhan filsafat bathiniah yang bertujuan untuk menghancurkan Islam dengan alat takwil, klaim risalah wahyu dan syariat yang menasakh hukum Islam," tulis Fahmi di suaramuhammadiyah.id.  

Rina berharap perdebatan sengit mengenai eksistensi Baha'i itu hanya berhenti di tataran elite saja. Menurut dia, para penganut agama Baha'i umumnya hanya ingin hidup tenteram dan tidak ingin berkonflik dengan agama mana pun. 

"Walau dengan berbagai permasalahan yang dihadapi komunitas Baha'i, sesuai visi dan misi Bahai untuk memajukan persatuan dan kesatuan umat manusia. Kami diajarkan untuk bergaul dengan semua umat beragama dengan semangat persahabatan dan kasih sayang," kata staf humas di Majelis Rohani Nasional Baha'i Indonesia itu. 

Rina mengakui komunitas Baha'i masih mengalami beragam diskriminasi. Salah satunya ialah terkait pelayanan publik di dinas pendudukan dan catatan sipil (dukcapil). Hingga kini, penganut agama Baha'i tidak bisa mencantumkan agamanya sendiri di kolom KTP. 

"Kami tidak putus asa dan tidak hanya berfokus pada kendala yang ada. Kami tidak menempatkan diri sebagai kaum minoritas yang tertindas," ucap Rina. 

 

Baha'i berakar dari Babism (Al-Babiyah), sebuah aliran agama monoteistik Samawi yang diperkenalkan Sayyed Alí Muhammad  Shirazi (Mirza Ali Muhammad al-Syairazi) di Persia pada 1844. Pada 1950, Shirazi dieksekusi pemimpin Persia karena mendaku sebagai rasul utusan Tuhan.

Sepeninggal Shirazi, Babisme, kemudian dikenal dengan sebutan agama Baha'i, disebarluaskan oleh Baháu'lláh dan putranya Abdul Baha'i ke seluruh dunia. Secara umum, Baha'i mengajarkan perdamaian dunia serta kesatuan suku, bangsa, dan agama. 

"Kami berprinsip bahwa semua manusia sama di mata Tuhan dan adalah kewajiban setiap orang untuk berkontribusi kebaikan kepada lingkungan sekitar, kepada pendidikan, kepada kemajuan bangsa, serta kepada persatuan umat manusia," ucap Rina menjelaskan inti ajaran agama Baha'i. 

Saat ini, diperkirakan ada sekitar 5.000 penganut Baha'i yang tersebar dalam kelompok-kelompok kecil di berbagai wilayah di Indonesia. Meski kecil, menurut Rina mengatakan, setiap umat Baha'i diajarkan untuk berkontribusi bagi bangsa. 

"Komunitas Baha'i mendorong pemberdayaan internal dengan sikap terus belajar dan mencari kebenaran secara mandiri. Setiap orang mendalami ajaran Baha'i secara mandiri dan berusaha memahami penerapannya untuk lingkungan dan dirinya sendiri serta buat masyarakat sekitar," ucap Rina. 

Soesiana Tri Ekawati, pemeluk Baha'i yang tinggal di Malang, Jawa Timur, membenarkan umat Baha'i masih mengalami diskriminasi dalam pelayanan administrasi publik kepada umat Baha'i. Namun demikian, ia mengatakan kaum Baha'i tetap berhubungan baik dengan aparatur pemda Malang. 

"So far, enggak ada masalah untuk urusan ke RT/RW, kelurahan dan kecamatan. Kalau ke polsek juga enggak masalah. Karena kami sudah dikenal, mungkin. Tapi, di KTP sih kolom agama masih setrip," kata Soesiana kepada Alinea.id

Soesiana mengatakan pemeluk Baha'i juga merawat hubungan baik dengan berbagai unsur agama di Malang. Sesekali, komunitas Baha'i juga terlibat dalam beragam diskusi untuk melancarkan dialog dan mendorong toleransi antarumat beragama. 

"Prinsip kesatuan umat manusia itu yang jadi patokannya. Itu punya implikasi yang dalam. Siapa aja yang tertarik (berdiskusi) untuk membangun kesadaran tentang ini, dalam diri dan di masyarakat, boleh ikut," kata Soesiana. 

Abdul Baha'i, pemimpin aliran agama Baha'i di Iran pada periode 1892-1921. /Foto Wikimedia Commons

Sejarah dan dasar eksistensi Baha'i 

Menurut catatan Kementerian Agama (Kemenag), Baha'i masuk pertama kali ke Indonesia pada 1885. Agama itu disebarluaskan di Nusantara oleh dua pedagang asal Persia yang bernama Jamal Effendi dan Sayyid Mustafa Rumi. 

Pada 1962, Baha'i pernah ditetapkan sebagai organisasi terlarang oleh Presiden Soekarno lewat Keppres No. 264/1962. Keppres tersebut dicabut Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada tahun 23 Mei 2000 lewat Keppres No.69/2000.

Pada 2014, Kemenag menetapkan Baha'i sebagai agama yang independen dan bersifat universal. Kesimpulan itu diambil usai Balitbang dan Diklat Kemenag meneliti komunitas Baha'i. Dari hasil analisis, Baha'i bukan agama sempalan dan memiliki tata peribadatan yang berbeda dengan agama-agama yang diakui negara. 

Peneliti Puslitbang Kemenag Abdul Jamil Wahab mengatakan Baha’i memiliki 12 asas, di antaranya keesaan Tuhan, kesatuan agama, persatuan umat manusia, persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, penghapusan prasangka buruk, perdamaian dunia, serta kesesuaian antara agama dan ilmu pengetahuan.

"Menurut ajaran Baha’i, setiap orang beragama harus keluar dari ekslusivisme agama masing-masing, sehingga mampu melihat hakikat kebenaran Tuhan Yang Satu. Setiap orang harus keluar dari rumahnya masing-masing sehingga bisa melihat sinar matahari yang hakiki. Tidak melalui kaca jendelanya. Atas dasar itu, ajaran Baha’i sering disebut memiliki prinsip kesatuan agama," jelas Abdul

Menurut Abdul, agama Baha’i juga memiliki peribadatan yang identik dengan agama-agama Samawi seperti puasa, sembahyang, dan doa. Hal itulah yang menyebabkan penganut Baha'i potensial berkonflik dengan pemeluk-pemeluk agama lainnya di Indonesia. 

"Barangkali inilah yang sering disebut menyamai Islam. Ritual tersebut, meski memiliki persamaan, tapi dalam beberapa hal berbeda. Meski ada kemiripan dengan Islam, seharusnya tidak menjadi masalah, bukankah banyak agama yang juga memiliki kesamaan, antara satu dengan lainnya?" tutur dia. 

Lebih jauh, ia menyatakan, ucapan selamat dari Menag Yaqut tak perlu dipersoalkan. Pasalnya, UUD 1945 tidak mengenal istilah agama diakui dan agama tidak diakui. Istilah itu, kata dia, terdapat dalam Pasal 61 dan 64 UU No 23 Tahun 2006 tentang Adminduk.

Kedua pasal itu pernah diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusannya, MK menetapkan bunyi kedua pasal itu bertentangan dengan konstitusi. Kedua pasal tersebut dinilai mendiskriminasi penganut agama dan kepercayaan tertentu.

"Sesuai konstitusi dan peraturan perundangan di atas, agama Baha’i, termasuk agama-agama lainnya seperti Sikh, Tao, Yahudi, Aluktodolo, Merapu, Sunda Wiwitan, dan lainnya, berhak hidup di Indonesia. Negara harus menghormati, melindungi, dan melayani dengan menjamin terpenuhinya pelayanan hak-hak sipil mereka," tulis Abdul. 

Ilustrasi penganut agama Bahai di India. /Foto Instagram @bahai.org

Setop politisasi

Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid menduga polemik eksistensi umat Baha'i sengaja dipolitisasi. Pasalnya, ucapan selamat hari raya  yang diutarakan Menag Cholil kepada umat Baha'i tercatat sudah berusia empat bulan. 

"Jadi, jangan dipolitisasilah. Sebab, ini (ucapan selamat) juga sudah pernyataan empat bulan yang lalu. Kenapa tiba-tiba ada keramaian begini? Itu maksudnya gimana," kata Alissa saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Selasa (2/8).

Menurut dia, protes MUI tidak bisa dijadikan pijakan untuk mendiskreditkan pemeluk Baha'i. Ia mengatakan posisi MUI sama halnya dengan ormas-ormas lain yang mewakili segelintir kalangan, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadyah. 

"Dia adalah organisasi masyarakat sipil dan bukan lembaga negara. Sehingga apa pun pandangan MUI harus diterima sebagai pandangan sekelompok masyarakat muslim. Kementerian Agama tidak boleh mendasarkan kebijakannya pada kehendak salah satu lembaga keagamaan," kata Alissa.

Infografik Alinea.id/Enrico P.W.

Lebih jauh, Alissa mengatakan Kemenag mesti mengacu pada konstitusi dan putusan-putusan MK dalam menyikapi eksistensi beragam pemeluk agama yang ada di Indonesia.Salah satunya ialah putusan MK 5/PPU- XVII/2019 dalam uji materi Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama.

Dalam putusan itu, MK menyatakan ada enam agama yang diakui pemerintah. Namun, pemeluk-pemeluk agama lain juga diperkenankan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing sebagaimana bunyi Pasal 29 UUD 1945. 

"Artinya, kalau Menteri Agama menyatakan selamat apa pun kepada siapa pun, itu tidak apa-apa. Itu merupakan bentuk penghormatan saja. Lain cerita, kalau, misalnya, tiba-tiba Menteri Agama membuat Dirjen khusus Baha'i tanpa ada proses regulasinya. Nah, itu baru salah," jelas Alissa.

Tak cuma kepada umat Baha'i, Alissa meminta agar pemerintah segera memformulasikan kebijakan untuk menyetop diskriminasi negara kepada kelompok minoritas. Menurut dia, diskriminasi negara kerap menjelma menjadi persekusi jika diboncengi kepentingan politik. 

"Saya khawatir, dari hal seperti ini (ucapan selamat), nanti ditariknya ke urusan politik dan yang kena dampaknya teman-teman Baha'i yang kemudian dipersekusi dan sebagainya. Kita tahu banyak sekali terjadi hal-hal seperti itu di Indonesia," kata Alissa. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan