close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Prabowo Subianto disebut berpotensi mengkhianati Presiden Jokowi apabila memenangi Pilpres 2024. Dokumentasi Setkab
icon caption
Prabowo Subianto disebut berpotensi mengkhianati Presiden Jokowi apabila memenangi Pilpres 2024. Dokumentasi Setkab
Politik
Selasa, 19 Desember 2023 11:08

Menang pilpres, Prabowo disebut berpotensi khianati Jokowi

"Prabowo punya partai dengan suara besar, sedangkan Jokowi tidak".
swipe

Calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto, disebut-sebut berpeluang mengkhianati Presiden Joko Widodo (Jokowi) jika memenangi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Pangkalnya, Ketua Umum Partai Gerindra itu memiliki kekuatan politik, sedangkan petahana tidak setelah purnabakti pada Oktober tahun depan.

"Jokowi nanti tidak lagi menjadi presiden dan berkuasa seperti saat ini. Jadi, potensi pengkhianatan akan terjadi. Apalagi, Prabowo punya partai dengan suara besar, sedangkan Jokowi tidak," beber eks aktivis '98, Azwar Furgudyama, di Tangerang Selatan, Banten, pada Senin (18/12).

Sekalipun tidak mengutarakannya secara eksplisit, Jokowi diketahui mendukung Prabowo pada Pemilu 2024. Ini terlihat dari penempatan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden (cawapres) Prabowo.

Sementara itu, kekuatan Gerindra di setiap pemilu terus bertambah, yang ditunjukkan dengan perolehan kursinya di DPR. Pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2009, yang pertama kali diikuti, Gerindra meraih 26 dari total 560 kursi di Senayan dan bertengger di peringkat ke-8 karena meraih 4,646 juta suara.

Lalu, menjadi 73 dari total 560 kursi DPR karena meraih 14,76 juta suara sehingga berada di urutan ke-3 pada Pileg 2014. Pada Pileg 2019, Gerindra naik ke peringkat ke-2 dengan meraih 17,59 juta suara sehingga mmendapatkan 78 dari total 575 kursi DPR.

Buya Azwar, sapaannya, melanjutkan, pasangan Prabowo-Gibran merupakan "ancaman sempurna" bagi masa depan demokrasi Indonesia. Sebab, Prabowo pernah terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat, salah satunya penculikan aktivis '98, sedangkan Gibran bisa maju karena adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sarat pelanggaran etika berat.

"Persandingan Prabowo Subianto dengan Gibran Rakabuming merupakan model ancaman sempurna yang berpotensi untuk memutar kembali haluan demokrasi yang telah susah payah kita bangun melalui gerakan reformasi '98. Kita semua tahu bagaimana proses politik Gibran yang dengan terang benderang menerima manfaat dari putusan kontroversial MK. Terlebih, rekam jejak Prabowo yang belum tuntas sepenuhnya dari sejarah masa lalunya," tuturnya.

Jika pasangan calon (paslon) yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) ini memenangi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, ia khawatir kehidupan bernegara akan kembali pada Orde Baru (Orba) di bawah pemerintahan Soeharto. Buya Azwar pun mengulas masalah tersebut dalam buukunya berjudul Buku Hitam Prabowo Subianto.

Hal senada diutarakan Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima), Ray Rangkuti. Ia berharap publik tidak terbuai dengan akrobatik Prabowo-Gibran untuk meraih simpati masyarakat, seperti mencitrakan diri sebagai sosok yang menggemaskan dan lucu (gemoy).

"Politik gemoy adalah politik pencitraan untuk menutupi karakter aslinya. Menurut saya, itu memang sengaja dibuat entah oleh konsultannya atau siapa dan dapat dengan mudah diviralkan. Apa artinya? Ya, menurut saya, itu menandai bahwa selain mereka tidak punya visi, juga jauh dari unsur kelayakan memimpin bangsa sebesar Indonesia yang dibangun dari pondasi keadaban," ulasnya. 

Urgensi menyuarakan kemanusiaan

Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Mohamad Syafi' Alieha atau Savic Ali, membenarkan pernyataan itu. Ia pun mengajak seluruh kelompok sipil agar terus menyuarakan dan memperjuangkan kemanusiaan dalam konstruksi demokratis agar tak kembali ke masa otoriterianisme.

"Buku ini adalah bagian dari merawat ingatan publik untuk terus menyuarakan kebenaran dan keresahan para korban dan keluarga korban. Kita siap untuk terus kembali menjadi garda depan melawan dan menggagalkan orang yang tidak layak memimpin di negeri ini," jelasnya. 

Mantan aktivis '98, Firman Tendry, menambahkan, Buku Hitam Prabowo Subianto memuat informasi penting dan mesti diketahui masyarakat luas, terutama generasi muda yang tidak pengalaman langsung dengan kejadian prareformasi.

"Segmen muda memang sudah tidak paham dan mengetahui apa yang terjadi di masa-masa akhir kejatuhan rezim Soeharto. Melalui buku ini pula, Buya Azwar mengingatkan kepada kita semua untuk mendasari proses demokratisasi pada konstruksi etik dan keadaban publik," ujarnya.

Kecil kemungkinan membelot

Terpisah, Direktur Demos Institute, Usni Hasanudin, berpandangan berbeda. Menurutnya, kecil kemungkinan bagi Prabowo untuk mengkhianati Jokowi.

"Justru saya meyakini Prabowo akan merangkul lawan-lawan politiknya yang kini berseberangan, utamanya partai politik. Ini penting dilakukan demi stabilitas pemerintahannya," jelasnya kepada Alinea.id, Selasa (19/12).

Usni mengakui bahwa Jokowi bakal kehilangan kekuatan ketika purnabakti. Namun, diyakini bakal melakukan perlawan jika Prabowo melanggar komitmen bahkan berseberangan sikap politiknya.

"Harus diingat, Jokowi ini termasuk salah satu politikus ulung sekalipun kerap dianggap 'plonga-plongo'. Apalagi, ada Gibran menjadi wapresnya dan anaknya yang lain (Kaesang Pangarep, red) menjadi Ketua Umum PSI (Partai Solidaritas Indonesia)," terangnya.

"Artinya, Jokowi juga sudah mengkalkulasi risiko politik ke depannya," sambungnya. "Saya sangsi Jokowi tidak menyiapkan apa-apa ketika memasang anaknya menjadi cawapres Prabowo dan berhadapan langsung dengan PDIP. Ini risiko politiknya besar jika tidak cermat.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan