close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Jokowi saat mengumumkan menteri baru di Isatana Medeka, Jakarta, Selasa (22/12)/Foto Setkab.
icon caption
Presiden Jokowi saat mengumumkan menteri baru di Isatana Medeka, Jakarta, Selasa (22/12)/Foto Setkab.
Politik
Jumat, 31 Desember 2021 13:08

Tambah wakil menteri jadi politik akomodasi Presiden Jokowi yang memboroskan

Penambahan jabatan wakil menteri disebut pemenuhan balas budi kepada relawan.
swipe

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai, politik akomodasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak selaras dengan janji reformasi birokrasi. Pandangan Ujang tersebut berkaitan dengan posisi wakil menteri yang diterapkan dalam Kabinet Indonesia Maju.

Pemerintah memang mewacanakan penambahan kursi wakil menteri yang diklaim guna menyesuaikan kebutuhan kementerian. Terdapat 24 kursi wakil menteri di mana 16 kursi wakil menteri sudah terisi dan delapan kursi masih kosong. 

Sampai saat ini jabatan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; Wakil Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; Wakil Menteri Investasi; Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional; Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; Wakil Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah; Wakil Menteri Perindustrian; serta Wakil Menteri Ketenagakerjaan masih belum terisi.

“Ada hal yang paradoks ya antara janji reformasi birokrasi dan kebijakan yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini bapak Jokowi. Kalau bicara reformasi birokrasi ya, perampingan birokrasi, semestinya tidak bicara menambah jabatan,” ucapnya kepada Alinea.id, Jumat (31/12).

Penambahan jabatan wakil menteri, kata dia, hanya membebani anggaran negara. Sebab, penambahan posisi wakil menteri di beberapa kementerian juga akan menganggarkan kebutuhan mobil dinas, tunjangan, gaji, hingga perjalanan dinas.

“Itu memboroskan anggaran negara, padahal tidak perlu sama sekali,” tutur Ujang.

Menurutnya, Jokowi melakukan akomodasi politik lantaran banyak partai pendukung dan relawan yang belum mendapatkan jatah jabatan. Oleh karena itu, Jokowi merasa perlu memberikan mereka jatah jabatan strategis sebelum masa jabatannya sebagai presiden habis pada 2024. 

“Ini yang menjadi problem bersama. Jadi, saya melihatnya sebagai kebijakan bagi-bagi kekuasaan seperti rezim sebelum-sebelumnya. Oleh karena itu, ini biasa dilakukan pemerintah, sudah terjadi sejak dulu,” ujar Ujang.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi melantik Edward Omar Syarif Hiariej sebagai Wakil Menteri (Wamen) Hukum dan HAM, Dante Saksono Harbuwono sebagai Wakil Menteri Kesehatan, dan Harfiq Hasnul Qolbi sebagai Wakil Menteri Pertanian. 

Pelantikan itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 76/M/2020 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Wakil Menteri Negara Kabinet Indonesia Maju Periode Tahun 2019-2024. Tiga posisi wakil menteri tersebut baru muncul dalam pelantikan di Istana Negara, Jakarta Pusat, hari ini, Rabu (23/12). 

Menanggapi hal itu, pengamat politik Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah Putra menilai komposisi hasil reshuffle Kabinet Indonesia Maju diprioritaskan untuk kestabilan politik. Ini terlihat dari porsi koalisi yang semakin lengkap dari sisi kursi menteri dan wakil menteri yang secara umum masih memiliki relasi dengan proses Pilpres 2019.

Menurut Dedi, kekhawatiran ‘obesitas’ struktur Kabinet Indonesia Maju sudah 'menggemuk' sudah terjadi sejak awal pembentukan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.

“Kondisi ini menandai kuatnya politik akomodatif. Presiden berusaha menyenangkan semua pihak dan tentu tidak baik bagi roda pemerintahan, karena akan memperlambat laju pembangunan,” ucap Dedi saat dihubungi Alinea.id, Rabu (23/12).

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Ayu mumpuni
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan