80% kebutuhan produk obat nasional dipenuhi industri farmasi dalam negeri

Pemerintah mendorong kemandirian industri farmasi sebagai sektor penting dalam menopang pembangunan kesehatan nasional.

Ilustrasi. Pixabay

Kementerian Perindustrian telah menginisiasi kebijakan substitusi impor sebesar 35% pada 2022. Tujuannya, untuk memperbaiki neraca perdagangan nasional, terutama bagi bahan baku dan bahan penolong yang menjadi tulang punggung industri pengolahan nasional.

“Substitusi impor juga mendorong peningkatan utilitas industri domestik, peningkatan investasi, dan akselerasi program hilirisasi untuk memperkuat tatanan sektor manufaktur nasional,” kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Muhammad Khayam dalam keterangan tertulisnya, Minggu (12/12).

Menurut Dirjen IKFT, kebijakan substitusi impor memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri untuk tumbuh, berkembang, dan meningkatkan daya saing. Pendekatan yang dilakukan dalam kebijakan substitusi impor dari sisi supply, meliputi perluasan industri untuk peningkatan produksi bahan baku dan bahan penolong untuk industri existing, peningkatan investasi baru, serta peningkatan utilisasi industri.

“Sektor IKFT diharapkan mampu memberikan kontribusi besar terhadap kebijakan substitusi impor tersebut,” ujarnya. Potensi ini salah satunya ditunjukkan dari kinerja industri farmasi, obat kimia dan obat tradisional serta industri bahan kimia dan barang kimia yang tumbuh positif sebesar 9,71% (y-o-y) pada kuartal III-2021.

Khayam menyampaikan, saat ini terdapat 223 perusahaan farmasi formulasi/produk jadi, terdiri dari empat perusahaan BUMN, yaitu PT Bio Farma Tbk. (sebagai holding), PT Kimia Farma Tbk., PT Indofarma Tbk., dan PT Phapros Tbk.. Berikutnya, sebanyak 195 industri swasta nasional, serta 24 multinational company (MNC).