

Babak belur industri tekstil di tengah perang tarif AS

Hanya beberapa pekan setelah Hari Raya Idul Fitri 2025, Zuhri, 34 tahun, kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Perusahaan tekstil tempatnya bekerja di kawasan Semanan, Jakarta Barat, Kalideres, memutuskan tak lagi memperpanjang kontrak dia.
Zuhri menerima kabar pahit itu dengan pasrah. Sudah sejak lama ia menyadari industri tekstil domestik di Tanah Air sedang megap-megap. Protes pun dirasa percuma.
"Sebelumnya, (pasar) kita sudah banjir tekstil dari China. Tenaga kerja di sini dibayar murah," kata Zuhri saat berbincang dengan Alinea.id, Selasa (22/4).
Daya saing produk tekstil lokal, kata Zuhri, kalah jika dibandingkan produk-produk Tiongkok, terutama dari sisi harga. Tekanan terhadap pasar domestik juga bakal makin parah setelah perang tarif dikobarkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Zuhri menduga bakal banyak pabrik tekstil yang gulung tikar. "Kalau enggak (tutup), ya, efisiensi dengan (para pekerjanya) di-PHK," kata warga Semanan itu.
AS memutuskan pemberlakuan tarif sebesar 47% produk tekstil yang diimpor dari Indonesia. Tarif yang tinggi itu dikhawatirkan akan menekan ekspor dan mengancam keberlangsungan industri tekstil di dalam negeri.
Namun, Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Djatmiko Bris Witjaksono menjelaskan tidak semua produk tekstil dan garmen Indonesia kena tarif hingga 47%. Tarif yang dikenakan umumnya bervariasi, tergantung jenis produk yang diimpor.
Selama ini, bea masuk yang diterapkan AS untuk produk tekstil asal Indonesia berada di kisaran 10-37%. Penambahan tarif dasar hingga 10% yang menyebabkan bea masuk terkerek hingga 47% untuk produk-produk tertentu.
"Jadi, tarif yang dikenakan oleh AS kepada produk Indonesia dengan status most favoured nation (MFN) itu ditambah 10 persen tergantung dari produknya," ucap Djtamiko dalam media briefing bertajuk "Kebijakan Tarif AS untuk Indonesia" yang digelar secara daring, Senin (21/4) lalu.
Tekanan terhadap industri tekstil domestik tergambar jelas dalam bangkrutnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Maret lalu, perusahaan tekstil raksasa yang berbasis di Sukoharjo, Jawa Tengah, berhenti beroperasi. Lebih dari sepuluh ribu karyawan kena PHK.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) memperkirakan bakal ada 10 perusahaan tekstil lainnya yang terancam bangkrut pada 2025. Tahun lalu, sudah ada sekitar 60 perusahaan di sektor hilir dan tengah yang berhenti beroperasi.
Pakar ekonomi dan kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan industri tekstil Indonesia sudah lama sakit kronis karena ketidakmampuan berinovasi dan ketergantungan yang berlebihan pada tenaga kerja murah.
"Industri TPT (tekstil dan produk tekstil) dan alas kaki tersebut sebenarnya sejak lama kehilangan daya saing akibat ketergantungan pada tenaga kerja murah, bukan semata karena kebijakan Trump," kata Achmad kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Meski begitu, Achmad menilai industri tekstil tak boleh dibiarkan mati. Ia mengusulkan agar pemerintah menego tarif untuk produk tekstil dari Indonesia ke AS. Salah satu tawaran yang bisa diajukan untuk "barter" ialah kerja sama di bidang mineral penting, terutama nikel dan timah yang vital bagi industri teknologi AS.
Selain itu, pemerintah juga memastikan bahwa sudah ada skema penyederhanaan regulasi yang selama ini menjadi batu sandungan bagi investor AS. Tetapi, itu dilakukan tanpa harus mengorbankan kepentingan nasional.
Tawaran lainnya untuk menego tarif ialah pemberian paket insentif khusus untuk perusahaan AS yang bersedia memindahkan basis produksi mereka ke Indonesia. Lobi-lobi bisa dijalankan via Asean, meskipun Achmad pesimistis itu efektif.
"Kita harus jujur. Selama ini ASEAN lebih sering menjadi forum diskusi daripada kekuatan nyata. Contoh ketika Vietnam justru mendapat keuntungan dari perang dagang AS-China dengan menarik relokasi pabrik, Indonesia malah sibuk berdebat tentang proteksionisme," kata Achmad.
Meski begitu, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) Mirah Sumirat sepakat negosiasi tarif dengan AS jadi salah satu upaya utama yang harus dijalankan pemerintah untuk melonggarkan tekanan terhadap industri tekstil domestik.
"Dalam bernegosiasi pemerintah Indonesia harus mengajak organisasi aliansi kawasan atau organisasi lintas negara untuk bisa melobi. Jangan sendiri," kata Mirah kepada Alinea.id.
Di sisi lain, pemerintah juga harus bisa memberi perlindungan bagi produsen tekstil dan garmen di dalam negeri. Pasar Indonesia, kata dia, terancam dibanjiri limpahan produk dari negara lain yang juga kena tarif tinggi AS.
Jika produsen domestik tidak dilindungi, Mirah menduga gelombang PHK yang lebih besar akan bergulir. "Sebelum perang tarif ini, industri tekstil sudah terpuruk. Kalau tidak ada proteksi bisa lebih terpuruk," jelas dia.
Di tengah gelombang pailit yang menghantam industri tekstil, ekspor TPT sebenarnya naik tipis pada 2024, baik secara nilai maupun volume. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS),nilai ekspor TPT sepanjang Januari-Oktober 2024 mencapai US$9,85 miliar. Angka itu naik kisaran 0,89% jika dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya, yakni sebesar US$9,76 miliar.
Secara volume, ekspor TPT Indonesia juga turut meningkat. Merujuk data BPS, volume ekspor TPT pada 2024 mencapai 1,61 juta kgm atau naik 5,06% jika dibanding periode yang sama pada 2023.


Berita Terkait
Di balik dominasi alat berat asal Tiongkok di pasar RI
Beban berat industri karena premanisme
Anomali, investasi naik tapi penyerapan tenaga kerja malah turun
Bisnis pergudangan semakin menggeliat

