Apindo khawatir Perppu Cipta Kerja bikin investasi padat karya menyusut

Peraturan tersebut terlalu ketat bagi investor yang ingin mendirikan perusahaan padat karya di Indonesia.

(kiri ke kanan)-Ketua Kebijakan Publik Apindo Sutrisno Iwantoro, Ketua Umum Apindo, Hariyadi B Sukamdani, Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani, dan Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Anton Supit dalam konferensi pers terkait Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, Selasa (3/1/2023). Alinea.id/Erlinda PW

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, mengaku khawatir jika ketersediaan lapangan kerja akan semakin menurun dengan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Pasalnya, peraturan tersebut terlalu ketat bagi investor yang ingin mendirikan perusahaan padat karya di Indonesia, sehingga akan lebih menarik investor padat modal. Kekhawatiran ini juga sudah dibuktikan dengan makin menurunnya jumlah tenaga kerja yang terserap, sedangkan nilai investasi yang masuk di Indonesia justru semakin naik tiap tahunnya.

Berdasarkan data dari Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 2013 investasi yang masuk sebanyak Rp398,3 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 1.829.950 orang (4.594 orang per Rp1 triliun). Kemudian nilai investasi naik di 2017 jadi Rp692,8 triliun dengan menyerap tenaga kerja 1.176.353 orang (1.698 orang per Rp1 triliun). Lalu di 2021 menjadi Rp901,02 triliun dengan serapan tenaga kerja 1.207.893 orang (1.340 orang per Rp1 triliun).

“Memang padat karya itu bertahap surut dan menyusut karena ketatnya regulasi kita. Dan akhirnya, dari sisi pemberi kerja atau investor yang masuk hanya padat modal,” kata Hariyadi pada konferensi pers terkait Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, di kantor Apindo, Selasa (3/1).

Adapun yang dimaksud ketat tersebut menurut Hariyadi, salah satunya pada formula penghitungan Upah Minimum (UM) di Perppu Nomor 2 Tahun 2022. Formula tersebut dinilai memberatkan dunia usaha, karena mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Padahal, pada Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau UU Nomor 11 Tahun 2020 hanya mencakup satu variabel, yaitu pertumbuhan ekonomi atau inflasi saja.