sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Apindo khawatir Perppu Cipta Kerja bikin investasi padat karya menyusut

Peraturan tersebut terlalu ketat bagi investor yang ingin mendirikan perusahaan padat karya di Indonesia.

Erlinda Puspita Wardani
Erlinda Puspita Wardani Selasa, 03 Jan 2023 21:31 WIB
Apindo khawatir Perppu Cipta Kerja bikin investasi padat karya menyusut

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, mengaku khawatir jika ketersediaan lapangan kerja akan semakin menurun dengan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Pasalnya, peraturan tersebut terlalu ketat bagi investor yang ingin mendirikan perusahaan padat karya di Indonesia, sehingga akan lebih menarik investor padat modal. Kekhawatiran ini juga sudah dibuktikan dengan makin menurunnya jumlah tenaga kerja yang terserap, sedangkan nilai investasi yang masuk di Indonesia justru semakin naik tiap tahunnya.

Berdasarkan data dari Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 2013 investasi yang masuk sebanyak Rp398,3 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 1.829.950 orang (4.594 orang per Rp1 triliun). Kemudian nilai investasi naik di 2017 jadi Rp692,8 triliun dengan menyerap tenaga kerja 1.176.353 orang (1.698 orang per Rp1 triliun). Lalu di 2021 menjadi Rp901,02 triliun dengan serapan tenaga kerja 1.207.893 orang (1.340 orang per Rp1 triliun).

“Memang padat karya itu bertahap surut dan menyusut karena ketatnya regulasi kita. Dan akhirnya, dari sisi pemberi kerja atau investor yang masuk hanya padat modal,” kata Hariyadi pada konferensi pers terkait Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, di kantor Apindo, Selasa (3/1).

Adapun yang dimaksud ketat tersebut menurut Hariyadi, salah satunya pada formula penghitungan Upah Minimum (UM) di Perppu Nomor 2 Tahun 2022. Formula tersebut dinilai memberatkan dunia usaha, karena mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Padahal, pada Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau UU Nomor 11 Tahun 2020 hanya mencakup satu variabel, yaitu pertumbuhan ekonomi atau inflasi saja.

Formula tersebut juga hampir sama dengan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP). Di mana, berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022, nilai upah minimum merupakan penjumlahan antara inflasi dengan perkalian pertumbuhan ekonomi dan variabel indeks tertentu.

“Kalau UM mengikuti Permenaker 18/2022, ini sebetulnya akan menyusutkan tenaga kerja. Jadi antara penciptaan lapangan kerja dengan jumlah angkatan kerja baru yang masuk dan yang keluar sudah tidak proporsional lagi,” tutur Hariyadi.

Semakin menyusutnya investasi padat karya, maka hal itu akan membuat masyarakat Indonesia kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Padahal, sebanyak 68% masyarakat Indonesia di akhir 2022 atau sekitar 183,7 juta orang, tergolong tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi harian mereka.

Sponsored

“Ini berdasarkan standar Food and Agriculture Organization (FAO). Sedangkan dalam sehari, rata-rata biaya kebutuhan makan masyarakat kita sebesar Rp663.791 per kapita tiap bulannya. Masalahnya apa? Karena pendapatan mereka terbatas,” ujarnya menjelaskan.

Semakin banyak masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka menurut Hariyadi, beban pemerintah akan semakin bertambah dalam memberikan subsidi bantuan sosial (bansos). Ia menyebutkan, pada 2019, pemerintah telah menggelontorkan bansos pada 98,1 juta orang Indonesia atau setara 36,33% dari 270 juta orang. Jumlahnya semakin naik di 2022, penerima bansos menjadi 161,7 juta orang atau 58,88% dari 275 juta penduduk.

“Inilah sebetulnya yang menjadi pemikiran kami, jadi masalah tenaga kerja bukan semata-mata upah minimum, masalah pesangon dan sebagainya, tetapi inilah buktinya. Begitu rentannya mayoritas rakyat kita tidak mendapatkan akses untuk mendapatkan pekerjaan yang layak” ucap Hariyadi.

Lebih lanjut, Ketua Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Apindo Anton J. Supit menyatakan, investasi padat karya tetap dibutuhkan di Indonesia. Jika tidak terpenuhi, maka akan menimbulkan masalah sosial, mulai dari ketiadaan lapangan kerja hingga masalah gizi.

“Yang paling penting juga, calon investor yang masuk ke sini akan memprediksi pengupahan di kita lima tahun ke depan. Kalau setiap tahun naik 10%, maka lima tahun naik 50%. Padahal dibandingkan Vietnam, Thailand, malah di Thailand itu naik tiap tiga tahun sekali upah minimumnya,” kata Anton. 

Berita Lainnya
×
tekid