Asa hilirisasi sang raja nikel dunia  

Hilirisasi diharapkan meningkatkan nilai tambah dalam tata niaga nikel, namun siapa yang diuntungkan?

Ilustrasi Alinea.id/Oky Diaz.

Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam (SDA). Lokasi Indonesia yang berada di pertemuan lempeng Eurasia di barat dan utara, lempeng Indo-Australia di selatan, lempeng Filipina di utara, serta lempeng Pasifik di timur menyebabkan melimpahnya berbagai jenis logam, tak terkecuali nikel.

Menurut laporan United States Geological Survey (USGS), Indonesia merupakan negara dengan produksi bijih nikel terbesar di dunia yakni 800 ribu ton dengan cadangan mencapai 21 juta ton pada tahun 2019. Bisa dibilang, Indonesia merupakan raja nikel dunia. 

Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), sebanyak 296 perusahaan memegang izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) nikel, 293 diantaranya sudah beroperasi. Di sisi lain, proses hilirisasi nikel masih dianggap minim.

Dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR 2020 pada Jumat (14/8) silam, Presiden Joko Widodo mengatakan hilirisasi bahan mentah menjadi salah satu fokus dalam pemerintahannya, salah satunya adalah logam nikel yang keberadaannya melimpah di Tanah Air.  

“Bijih nikel telah bisa diolah menjadi feronikel, stainless steel slab, lembaran baja, dan dikembangkan menjadi bahan utama untuk baterai litium. Hal ini akan memperbaiki defisit transaksi berjalan kita, meningkatkan peluang kerja, dan mulai mengurangi dominasi energi fosil,” katanya.