Ahli gambut Basuki Sumawinata: Cetak sawah terlalu berisiko, tanahnya juga tidak ada

Cetak sawah berskala besar terkendala teknologi, biaya, waktu, dan ketersediaan lahan.

Presiden Jokowi kembali mencanangkan program cetak sawah untuk mengantisipasi krisis pangan karena dampak pandemi Covid-19.

Pemerintah kembali berencana mencetak sawah dengan skala yang masif. Tujuannya untuk menggenjot produksi padi. Rencana ini muncul setelah ada peringatan dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) terkait ancaman krisis pangan dunia akibat pandemi Covid-19. Sebagai negara importir pangan, Indonesia tidak luput dari ancaman itu. 

Program cetak sawah dalam skala besar bukan hal baru di Republik ini. Namun, menurut pakar Ilmu Tanah dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Sumawinata, tidak ada catatan keberhasilan yang menyertai program-program itu. "Kita itu sembarangan (membuat program cetak sawah), sejarah kembali berulang," kata Basuki kepada Alinea.id melalui fitur pesan singkat Whatsapp pada Selasa (4/5). Percakapan berlanjut melalui sambungan telepon pada Rabu (5/5).

Basuki membeberkan, program cetak sawah berskala besar kerap mengalami kegagalan. Mulai dari program pengembangan lahan gambut (PLG) satu juta hektare di Kalimantan pada 1995, pengembangan food estate di Merauke, Papua hingga pencetakan sawah oleh BUMN di era Menteri Dahlan Iskan. Menurut Basuki, jika tidak hati-hati perintah Presiden Joko Widodo yang menginstruksikan BUMN mencetak sawah baru bakal kembali mengulang sejarah di masa lalu.

Basuki sudah puluhan tahun menjadi pengajar di Departemen Ilmu Tanah Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB. Ia juga masuk jajaran Pengurus Pusat Himpunan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI), sebuah organisasi yang mewadahi pakar yang memliki kompetensi dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan dimensi, nilai-nilai dan pendayagunaan lahan gambut. Berikut petikan wawancara dengan Alinea.id: