Dari jelantah minyak goreng jadi sumber energi hijau

Minyak goreng bekas pakai bisa mendatangkan keuntungan ekonomi jika bisa dikumpulkan dengan benar.

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, penduduk Indonesia lebih akrab dengan penggunaan minyak goreng sawit ketimbang minyak dari bahan dasar lainnya. Sayangnya, belakangan harga minyak goreng meroket dari harga acuan Rp11.000 per liter dan mendekati Rp20.000 per liter. Di tengah kondisi ini, ada harapan baru dari minyak bekas pakai (jelantah) yang bisa mendatangkan keuntungan ekonomi.

Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), permintaan minyak goreng sawit utamanya dari kalangan rumah tangga cenderung mengalami kenaikan tiap tahun. Pada 2020 saja, permintaan minyak goreng mencapai 17,35 juta ton, naik dibanding tahun sebelumnya yang tercatat 16,75 juta ton.

Sedangkan berdasarkan publikasi Indonesia Oilseeds and Products Annual 2019 diketahui bahwa konsumsi minyak goreng rumah tangga telah mencapai 13 juta ton atau setara dengan 16,2 juta kilo liter per tahun. Kondisi ini lantas menjadikan Indonesia sebagai peringkat pertama dengan tingkat konsumsi minyak goreng terbanyak di dunia, diikuti oleh India, China, dan Malaysia.

Dus, tak heran jika kemudian residu minyak goreng sawit atau minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO) juga banyak ditemukan. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Traction Energy Asia memperkirakan, dari konsumsi 13 juta ton minyak goreng, ada produksi UCO hingga 3 juta ton. Di mana 1,6 juta ton diantaranya didapatkan dari rumah tangga perkotaan besar.

Sayangnya, dari total minyak goreng bekas tersebut paling banyak, yakni sekitar 1,95 juta ton atau sekitar 2,43 juta kilo liter digunakan untuk minyak goreng daur ulang. Minyak ini nantinya dijual atau digunakan kembali untuk memasak. Kemudian hanya 148.380 ton atau 184.900 kilo liter diekspor dan sekitar 570.000 kilo liter digunakan untuk bahan baku biodiesel atau kebutuhan lainnya di dalam negeri.