Di balik suhu panas: El Nino yang menghantui produksi pangan

Mulainya fase El Nino ditandai dengan suhu lebih hangat, ancaman kekeringan di depan mata.

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), fenomena La Nina yang telah terjadi sejak 2021 akan segera beralih ke fase Netral pada Maret 2023 dan bertahan hingga akhir semester-I 2023. Kemudian, kondisi ENSO (El Nino-Southern Oscillation) pun perlahan akan masuk ke fase El Nino pada semester kedua tahun ini. 

“Terdapat peluang sebesar 50-60% bahwa kondisi Netral akan beralih menuju fase El Nino. Indian Ocean Dipole (IOD) saat ini berada pada kondisi netral dan diprediksi akan bertahan hingga akhir 2023,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam Konferensi Pers di Jakarta, Senin (6/3) lalu.

Prediksi serupa diungkapkan pula oleh ASEAN Specialised Meteorological Centre (ASMC). Pusat Meteorologi Khusus ASEAN ini memperkirakan La Nina sudah resmi berakhir dan atmosfer-laut segera memasuki fase Netral pada periode April-Mei 2023. Selanjutnya, iklim yang disebut juga sebagai ‘Anak Tuhan’ akan terbentuk pada Juni-Juli 2023.

Sementara itu, El Nino yang merupakan kebalikan dari La Nina membuat angin pesat lebih lemah, sehingga menyebabkan air hangat kembali mengalir ke Amerika. Kondisi ini lantas membuat lebih sedikit air dingin naik ke permukaan, namun membuat air yang lebih hangat menyebar lebih jauh dan lebih dekat ke permukaan. Pada saat itulah suhu global akibat El Nino biasanya meningkat sekitar 0,2 derajat celcius.

“El Nino membuat wilayah Asia Tenggara lebih kering daripada rata-rata, termasuk di Benua Maritim. Suhu lebih hangat biasanya diikuti oleh musim kemarau. Dampak ENSO terhadap curah hujan dan suhu kawasan lebih terasa secara signifikan selama kejadian dengan intensitas kuat atau sedang,” tulis ASMC dalam laman resminya, dikutip Alinea.id, Minggu (30/4).