close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kabul krisis air. Foto: theglobepost
icon caption
Kabul krisis air. Foto: theglobepost
Peristiwa
Minggu, 06 Juli 2025 17:05

Kabul di ujung krisis air: Berpotensi jadi kota modern pertama yang kering

Krisis air ini bukan sekadar persoalan alam.
swipe

Di balik hiruk-pikuk kota Kabul Afghanistan yang kini dihuni lebih dari enam juta orang, ancaman krisis air semakin nyata. Dalam laporan terbaru dari Mercy Corps, kota ini digambarkan berada di ambang kehabisan air dalam waktu kurang dari satu dekade. Jika tidak ada langkah besar yang diambil, Kabul berpotensi menjadi kota modern pertama yang kering—secara harfiah.

Laporan tersebut menunjukkan bahwa tingkat air tanah di Kabul telah turun antara 25 hingga 30 meter hanya dalam 10 tahun terakhir. Jumlah air yang diambil jauh lebih besar dibanding yang bisa diisi ulang oleh alam, dengan selisih sekitar 44 juta meter kubik setiap tahunnya. Jika tren ini terus berlanjut, Kabul bisa kehabisan air tanah sepenuhnya pada tahun 2030. Sekitar tiga juta penduduk kemungkinan besar akan terdampak langsung dan terancam harus meninggalkan kota.

Sumber utama air bersih masyarakat Kabul adalah sumur bor bawah tanah. Namun menurut UNICEF, hampir separuh dari sumur-sumur ini telah kering. Lebih memprihatinkan lagi, sekitar 80% air tanah yang tersedia mengandung limbah, arsenik, dan kadar garam tinggi yang berbahaya untuk kesehatan.

Ledakan populasi dan sistem yang gagal
Krisis air ini bukan sekadar persoalan alam. Dalam dua dekade terakhir, populasi Kabul meningkat tajam dari di bawah satu juta jiwa pada tahun 2001 menjadi lebih dari enam juta sekarang. Lonjakan ini diperparah oleh lemahnya pengelolaan air dan tata kota. Selama intervensi militer pimpinan AS, banyak warga dari daerah lain berpindah ke Kabul tanpa disertai peningkatan infrastruktur air yang memadai.

Assem Mayar, pakar manajemen sumber daya air dan mantan dosen di Universitas Politeknik Kabul, menyebut situasi ini sebagai skenario terburuk yang bisa terjadi jika tidak ada intervensi. Ia menyebut prediksi krisis tahun 2030 sebagai sangat masuk akal berdasarkan data penurunan air tanah yang konsisten.

Najibullah Sadid, peneliti dari Jaringan Profesional Air dan Lingkungan Afghanistan, menyatakan tidak ada yang tahu pasti kapan sumur terakhir akan benar-benar kering. Tapi menurutnya, "Kita tahu akhir sudah dekat."

Jurang antara si kaya dan si miskin
Bergantung pada sumur pribadi membuat kesenjangan sosial makin nyata. Warga yang lebih mampu bisa mengebor lebih dalam saat air menyusut, sedangkan yang miskin hanya bisa antre di keran umum. Banyak anak-anak harus begadang atau bolos sekolah hanya untuk membawa pulang beberapa jeriken air. Di beberapa wilayah, masyarakat harus membeli air dengan harga tinggi dari perusahaan swasta.

Menurut laporan Direktorat Statistik Nasional (Agustus 2024), ada sekitar 310.000 sumur bor di seluruh Afghanistan, dan sekitar 120.000 di antaranya berada di Kabul. Dari jumlah tersebut, hampir 49% sudah tidak lagi menghasilkan air.

Tak hanya warga, industri juga turut menyedot sumber air kota. Salah satu perusahaan minuman terbesar, Alokozay, diperkirakan menyedot hingga 2,5 juta liter air tanah per hari atau hampir satu miliar liter per tahun. Kabul juga memiliki lebih dari 400 hektare rumah kaca yang menggunakan sekitar 4 miliar liter air setiap tahun untuk produksi sayuran.

Namun, saat ditanya tentang ekstraksi air ini, perusahaan-perusahaan tersebut cenderung enggan memberikan komentar.

Perubahan iklim menambah buruk krisis
Curah hujan yang makin rendah, salju yang mencair lebih cepat, dan musim kering yang lebih panjang semuanya mempercepat krisis. Tiga sungai utama yang selama ini menjadi sumber pengisian air tanah Kabul—Sungai Kabul, Sungai Paghman, dan Sungai Logar—semakin berkurang debit airnya. Menurut Mercy Corps, antara Oktober 2023 hingga Januari 2024, Afghanistan hanya menerima sekitar 45–60% dari rata-rata curah hujan tahunan.

Kondisi ini memperparah penguapan dan membuat sektor pertanian membutuhkan air lebih banyak. Tanaman butuh irigasi ekstra karena suhu meningkat drastis.

Namun menurut Sadid, faktor paling utama yang memperparah krisis ini bukan hanya perubahan iklim, tetapi juga akibat puluhan tahun perang dan pemerintahan yang lemah. Dana asing yang semestinya untuk pembangunan justru lebih banyak digunakan untuk kepentingan keamanan. Sejak Taliban mengambil alih kekuasaan pada 2021, banyak proyek pembangunan air yang terhenti karena sanksi internasional.

Misalnya, proyek air tanah buatan dan proyek Shah-Toot Dam—bendungan besar yang dirancang untuk menyuplai air ke sebagian besar wilayah Kabul—saat ini statusnya tertunda. Proyek lain, seperti jaringan air dari akuifer Logar, juga mandek walau sebagian besar sudah selesai dibangun saat pemerintahan Ashraf Ghani runtuh.

Mayar menyatakan, "Krisis ini sudah melewati kapasitas otoritas de facto saat ini. Mereka tidak memiliki dukungan, dana, atau kemampuan teknis untuk menyelesaikan masalah ini sendirian."

Apa yang bisa dilakukan?
Menurut para ahli, solusi jangka panjang hanya mungkin dengan pembangunan infrastruktur air yang besar-besaran. Mulai dari pengisian ulang akuifer buatan, pembangunan bendungan kecil, waduk, dan sistem pemanenan air hujan, hingga modernisasi jaringan pipa air kota.

Achakzai dari EPTDO mengatakan, Kabul perlu mendatangkan air dari sungai-sungai di wilayah Panjshir dan membangun sistem penyimpanan air untuk mengurangi ketergantungan pada air tanah.

Namun di tengah isolasi internasional dan sanksi ekonomi, semua itu tampaknya masih jauh dari harapan. “Sanksi telah membatasi akses terhadap dana, teknologi, dan kerja sama global,” ujar Achakzai. Hal ini tak hanya menurunkan produktivitas pertanian dan menaikkan harga pangan, tapi juga mendorong migrasi massal dari Kabul.

Kini, Kabul berdiri di tepi krisis besar yang bisa memengaruhi jutaan nyawa. Sumur-sumur mulai mengering, dan anak-anak mulai belajar lebih sedikit karena terlalu sibuk mencari air. Pertanyaannya: apakah dunia akan melihat—dan bertindak—sebelum keran terakhir benar-benar berhenti menetes?(Aljazeera)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan