Pakta Glasgow dan dilema Indonesia mengurangi dominasi batu bara

Indonesia masih mengalami ketergantungan pada komoditas batu bara, baik untuk pembangkit maupun untuk ekspor.

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

Awal November lalu, Indonesia menjadi salah satu dari 23 negara yang meneken perjanjian untuk mengurangi konsumsi batu bara. Hasil KTT Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia ini mengikat negara peserta untuk mengakhiri konsumsi batu bara untuk produksi listrik pada dekade 2030-an dan menghentikan investasi batu bara di dalam dan luar negeri.

Nyatanya, konsumsi listrik di tanah air terus meningkat. Padahal, listrik dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batu bara karena lebih murah.

Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengungkapkan, beban puncak malam tertinggi terjadi pada 14 Oktober lalu pukul 19.00 WIB yang mencapai 28.093 MW (Megawatt). Sedangkan beban puncak siang hari sepanjang 2021 tertinggi pada Rabu 13 Oktober 2021 mencapai 27.740 MW. 

Dari capaian tersebut, pangsa tertinggi konsumsi listrik berasal dari penggunaan rumah tangga yang mencapai 46% dari total konsumsi dengan konsumsi listrik sebesar 85,43 TWh. Kemudian disusul oleh konsumsi listrik sektor industri, dengan pangsa sebesar 30,91% dari total konsumsi listrik dan pertumbuhan konsumsi mencapai 58,04 TWh.

"Aktivitas industri dan perekonomian sudah kembali pulih," kata Zulkifli, Minggu (17/10) lalu.