Ekonom: Penduduk Indonesia sulit akses pangan sehat

Jika kondisi pangan Indonesia sehat, ia yakin akan berdampak baik pada perekonomian nasional.

Bustanul Arifin. Foto Setpres

Ekonom senior INDEF, Bustanul Arifin menyoroti perlunya perbaikan ekonomi pangan di Indonesia. Menurut dia, Indonesia saat ini menjadi negara dengan tingkat double burden of malnutrition (DBM) terbesar di dunia. DBM merupakan beban gizi ganda, yaitu gizi kurang dan gizi lebih yang terjadi bersamaan.

“Ini karena perubahan sistem pangan yang mengarah pada olahan pangan tidak sehat dan murah. Sehingga anak-anak mengonsumsi itu dan yang terjadi gizi buruk,” ujar Bustanul dalam diskusi publik bersama ekonom senior INDEF, Kamis (2/3).

Berdasarkan data The Lancet tahun 2020 yang disampaikan Bustanul, DBM di Indonesia nyaris terjadi di seluruh provinsi di Indonesia, dan menyebabkan balita stunting dan dewasa di atas usia 18 tahun mengalami kegemukan pada saat bersamaan. Salah satu yang paling mengkhawatirkan yaitu sekitar 68% penduduk Indonesia tidak mampu mengakses pangan sehat dan bergizi.

“Menurut saya ini amat sangat serius. Dari beberapa data di media, di Indonesia kebanyakan makan beras hingga 60% komposisinya, padahal yang ideal 50%. Jadi karena konsumsi beras yang terlalu banyak, maka tekanan terhadap produksi juga tinggi,” kata dia.

Alasan tingginya konsumsi beras karena pangan sehat di Indonesia masih mahal. Posisi Indonesia serupa dengan Filipina menurut Bustanul, yaitu kemampuan menghasilkan pangan sehat dan konsumsi pangan sehat yang masih rendah.