INDEF harap pemerintah tak mencabut subsidi BBM dan gas 3 kg

Kenaikan harga BBM, listrik dan gas akan berdampak pada biaya produksi yang mendorong terjadinya cosh push inflation.

Antrean warga membeli elpiji tiga kilogram bersubsidi di pasar murah yang digelar di Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (17/12/2020)/Foto Antara/Mohamad Hamzah.

Momentum pertumbuhan ekonomi yang dicapai pada triwulan I-2022 sebagai wujud dari kondisi ekonomi yang semakin membaik, bahkan hampir mendekati kondisi ekonomi sebelum terjadinya pandemi di angka 5%. Oleh karena itu, INDEF berharap hal itu mesti dijaga kualitas dan konsistensinya sepanjang 2022.

"Rencana kenaikan harga/tarif listrik akan mendorong biaya produksi kenaikan TDL akan menjadi efek domino pada harga bahan baku lokal pada industri intermediate dan industri hilir dan efisiensi. Maka perusahaan akan melakukan pengurangan karyawan," kata Wakil Direktur INDEF Eko Listiyanto, dalam keterangannya secara online, Rabu (11/5).

Untuk itu, pemerintah seyogianya menahan untuk melakukan kebijakan pencabutan subsidi BBM dan gas 3 kg, meskipun dalam interval harga keekonomian. Hal ini dikarenakan berpotensi menstimulus terdegradasinya kualitas pertumbuhan ekonomi dengan angka inflasi yang semakin meningkat.

Selain itu, kenaikan harga BBM, listrik dan gas akan berdampak pada biaya produksi yang mendorong terjadinya cosh push inflation. Naiknya harga jual, berpotensi penurunkan permintaan demand barang/jasa. Konsumen berpotensi memilih produk impor dengan harga jual yang lebih rendah. Tentunya hal ini dapat menurunkan daya saing produk lokal dibandingkan produk impor.

Apabila pemerintah tidak menahan kebijakan pencabutan subsidi TDL/listrik, BBM dan gas 3 kg maka performa ekonomi akan semakin berat untuk mencapai target pertumbuhan 5,2%. Konsekuensinya pemerintah harus mengeluarkan berbagai insentif baik terhadap industri pengolahan yang terdampak, juga terhadap daya beli masyarakat yang keduanya akan semakin mengkompensasi terhadap kualitas pertumbuhan yang rendah.