close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi-Pertumbuhan ekonomi nasional. Alinea.id/Bagus Priyo
icon caption
Ilustrasi-Pertumbuhan ekonomi nasional. Alinea.id/Bagus Priyo
Bisnis
Senin, 11 Agustus 2025 11:22

Perlukah data "janggal" BPS dibawa ke PBB?

Data pertumbuhan ekonomi nasional kuartal II 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) di Jakarta, Selasa (5/8) lalu dianggap tak mencerminkan realita.
swipe

Data pertumbuhan ekonomi nasional kuartal II 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) di Jakarta, Selasa (5/8) lalu, banjir kritik. Sejumlah pemerhati ekonomi dan lembaga non pemerintah mendesak BPS memberikan penjelasan terbuka mengenai data pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 5,12%. 

Center of Economic and Law Studies (Celios) telah mengajukan permohonan kepada Badan Statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengaudit angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dirilis BPS. Data tersebut dianggap janggal karena tidak sesuai dengan realitas sesungguhnya di lapangan, terutama saat Indonesia dilanda badai PHK dan menurunnya daya beli. 

Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, menilai data pertumbuhan ekonomi 5,12% memang terasa janggal. Menurut dia, hasil yang dikeluarkan BPS bertolak belakang dengan dengan indikator umum yang biasa dijadikan acuan masyarakat, seperti daya beli, aktivitas manufaktur, penjualan kendaraan hingga konsumsi listrik. 

Variabel-variabel itu, kata dia, tidak sepenuhnya selaras dengan angka pertumbuhan yang dirilis BPS. Dia menilai wajar bila publik menduga ada intervensi politik yang memaksa BPS mengeluarkan angka "menggembirakan" itu. 

"Publik merasa ada pihak-pihak di luar domain statistik yang terlalu dekat mengawal proses penyusunan angka. Independensi statistik bukan hanya soal tidak adanya tekanan vulgar; ia juga soal jarak institusional yang cukup sehingga publik yakin bahwa angka yang keluar murni hasil proses ilmiah, bukan kompromi politik," kata Achmad kepada Alinea.id, Sabtu (9/8).

Achmad mengatakan pengukuran statistik yang ideal perlu berdiri di atas tiga pilar. Pertama, metodologi yang sahih. Kedua, proses yang dapat diaudit. Terakhir, komunikasi yang jujur. Kontroversi mengenai data pertumbuhan ekonomi saat ini menyingkap rapuhnya pilar komunikasi BPS.  

Karena itu, Achmad menilai audit independen yang kredibel harus dilakukan. Bukan sekadar untuk menilai hasil akhir, audit juga mesti diarahkan menelusuri proses dari hulu ke hilir, mulai dari bagaimana data masuk, bagaimana proses yang dilalui, kemudian siapa yang mengubah parameter dan siapa saja yang melihat angka sebelum publik. 

"Terakhir, bagaimana keputusan metodologis diambil. Bantahan normatif 'kami tidak diintervensi' tak akan cukup. Hanya audit yang mereplikasi angka dengan kode dan data yang sama oleh pihak yang terpercaya,yang dapat menutup perdebatan," kata Achmad. 

Achmad menilai audit harus memetakan rantai pasok, kawasan ekonomi khusus dan industri, pajak, perdagangan, energi, manufaktur, konstruksi, transportasi hingga jasa. Selanjutnya, audit mereplikasi jembatan dari PDB nominal ke PDB riil—menelusuri deflator, bobot input-output, dan koherensi indikator.

Selain itu, triangulasi wajib dilakukan dengan menyoroti apakah PDB selaras dengan indikator frekuensi tinggi seperti PMI, konsumsi listrik, penjualan semen, penjualan kendaraan, arus barang di pelabuhan, serta citra satelit lampu saat malam. Jika koherensi lemah, harus ada penjelasan metodologis—bukan sekadar retorika.

"Perlu juga  membentuk Dewan Penasihat Statistik independen yang terdiri dari akademisi, pakar national accounts, praktisi data untuk menilai perubahan metodologi besar dan mengawasi kepatuhan pada UN fundamental principles. Kedua, terapkan kebijakan zero pre-release access bagi aktor non-statistik; jika ada akses dini untuk tujuan teknis, daftarnya terbuka dan alasannya terdokumentasi," tuturnya. 

Achmad juga mengusulkan agar kalender rilis BPS dirancang ulang dan didesain supaya tidak bisa dinegosiasikan. Tiada kalah penting, menurut Achmad, perlu didorong untuk membentuk komunitas statistik untuk bisa menjadi pembanding data-data BPS. Tujuannya untuk memastikan akurasi data BPS. 

"Ekonomi butuh angka yang dipercaya. Kebijakan fiskal-moneter, strategi industrialisasi, hingga pembiayaan UMKM bergantung pada data yang akurat. Di tengah ruang publik yang bising, kepercayaan adalah modal langka. Menjawab keraguan dengan konferensi pers saja tidak cukup," kata Achmad. 

Kepada Alinea.id, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti mengatakan audit data BPS tidak perlu sampai melibatkan Badan Statistik PBB. Namun, yang perlu dilakukan adalah "menyidangkan" data BPS secara publik, dalam satu forum, antara BPS dan pihak independen yang membidangi statistik. 

"Bukan audit, tapi transparansi penggunaan data dan metode serta asumsi yang menjustifikasi pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,12%. Hitungan INDEF pertumbuhan ekonomi saat ini sekitar 4,6-4,8%. Harus duduk bareng (BPS dan pihak independen), undang beberapa lembaga kemudian mengkomunikasikan bagaimana angka itu diperoleh," kata Esther. 


 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan