"Kacamata kuda" pemerintah dalam kebijakan impor beras

Pemerintah semestinya mempertimbangkan pendapatan petani serta mendorong pembangunan di pedesaan melalui sektor pertanian.

Ilustrasi. Freepik

Pengamat pertanian Mohamad Husein Sawit menilai, rencana impor beras 1 juta ton dalam waktu dekat hanya mempertimbangkan satu hal dan menafikan yang lainnya. Pemerintah hanya memikirkan bagaimana menstabilkan harga di pasar, memastikan inflasi tetap rendah, dan menerapkan patokan harga eceran tertinggi (HET).

Menurutnya, pemerintah semestinya mempertimbangkan pendapatan petani sebelum mengimpor beras serta bagaimana mendorong pembangunan di pedesaan yang terkait dengan penggilingan padi, pelaku usaha, pedagang gabah dan beras baik eceran, grosir, atau partai besar.

"Itu tidak dipedulikan, yang penting tujuan stabilisasi harga, menekan inflasi, dan juga penerapan HET tercapai, termasuk dalam menambah stok," katanya kepada Alinea, Minggu (21/3).

Husein menambahkan, kebijakan impor beras saat ini juga mengabaikan tiga kondisi yang diperbolehkan, yaitu pertumbuhan produksi padi hingga Juli, stok yang tersedia di Badan Urusan Logistik (Bulog), dan perkembangan harga di pasar.

Dari tiga kriteria tersebut, terangnya, hanya dari sisi stok Bulog yang memungkinkan untuk impor, di mana stok hingga April hanya sebesar 900.000 ton dan kebutuhan menambahkan cadangan beras hingga 1,5 juta ton. Dua kriteria lainnya sebaliknya, tak memungkin impor dilakukan.