Kebijakan impor buah diklaim telah pertimbangkan kepentingan petani

Hambatan perdagangan seperti kuota adalah hal yang dapat dikatakan tabu pada pedagangan internasional.

Pedagang menata jeruk impor yang dijual di kawasan Glodok, Jakarta Barat, Senin (27/1/2020). Foto Antara/Sigid Kurniawan.

Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) merupakan keniscayaan yang juga diterapkan oleh banyak negara maju. Namun, Indonesia harus merevisi 18 macam peraturan, termasuk beberapa UU terkait yang memberlakukan RIPH. Ini selain sebagai pemerintah sejak1994 terkait perjanjian WTO, juga ada tuntutan dari dua negara maju, yaitu Amerika Serikat (AS) dan Selandia Baru.

Guru Besar Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB) Muhammad Firdaus mengatakan, sebelum ada perubahan pasal pada UU Cipta Kerja, tiga prolegnas menyatakan bahwa impor pangan, termasuk hortikultura, dilakukan hanya jika produksi dalam negeri tidak mencukupi. Tiga aturan itu adalah UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Pangan dan UU Hortikultura.

Firdaus menyebutkan, pada UU Cipta Kerja terdapat revisi bahwa pemenuhan kebutuhan pangan dilakukan dengan memanfaatkan sumber produksi dalam negeri, cadangan pangan, dan impor. Selain itu, ada klausul pada ayat berikutnya bahwa impor tersebut harus memerhatikan kepentingan petani dan nelayan.

"Kita bisa mempelajari kebijakan impor hortikultura dari Australia. Sejak awal 2000-an negara itu sudah menerapkan berbagai hambatan nontarif untuk impor durian, lengkeng, dan manggis meskipun daerah Utara yang ingin dikembangkan buah tropis belum berhasil secara baik," kata dia. 

Dia mengatakan, hambatan perdagangan seperti kuota adalah tabu pada pedagangan internasional. Selain itu, tidak ada alasan signifikan untuk menerapkan kuota impor buah. Terlebih pada buah sub-tropis yang tidak masif diproduksi di dalam negeri.