Kementan kenalkan tanam kedelai dan jagung sistem 'methuk'

Salah satu terobosan yang diperkenalkan Kementerian Peratnian adalah sistem Kedelai Methuk Jagung.

Ilustrasi kedelai. Foto Pixabay

Kebutuhan kedelai impor pada industri tahu dan tempe menjadi tantangan dalam mengurangi ketergantungan impor. Harga kedelai impor yang bersaing dengan lokal merupakan penyebab keterbatasan ketersediaannya di petani. Banyak petani kedelai saat ini alih komoditas ke jagung. Upaya Pemerintah menargetkan 1 juta ton kedelai di tahun ini untuk pemenuhan kebutuhan industri tahu tempe pun harus dilakukan melalui berbagai terobosan.

Salah satu terobosan yang diperkenalkan Kementerian Pertanian adalah sistem Kedelai Methuk Jagung. Sebenarnya sudah lama sektor pertanian mengenal istilah Kedelai Methuk Jagung, yaitu pola menanam kedelai ketika jagung berumur 80-90 hari. Sehingga ketika jagung panen, kedelai sudah berumur sekitar satu bulan. Sekitar 45 hari berikutnya kedelai dapat dipanen. Kata “Methuk” berasal dari kata “pethuk” dalam bahasa Jawa bermakna bertemu, dalam bentuk aktif “methuk” bermakna “menjemput”.

Setelah itu, dapat dilakukan penanaman jagung yang kedua. Awalnya petani hanya bisa dua kali membudidayakan jagung di musim tanam ke-1 dan ke-2 (MT-1 dan MT-2), dengan sistem methuk ini, petani dapat menanam kedelai di sela-selanya. Hal ini dilakukan dengan teknik budidaya pemangkasan tunas jagung (mucuki) setelah kedelai berumur 5-7 hari, bertujuan untuk melindungi benih kedelai yang ditanam dari terpaan hujan dan gangguan lainnya.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Suwandi, saat mengisi acara bersama penyuluh pertanian se-Indonesia pada hari Jumat (11/3) menjelaskan perlunya menyemangati dan memberi gambaran kepada para petani bahwa sebelumnya kita pernah mampu menanam kedelai hingga 1 juta hektare. “Kita tahu banyak petani kedelai beralih komoditas ke jagung, maka konsep untuk petani yang sekarang sudah menanam jagung, diselipkan kedelai. Kita bisa belajar dari contoh di Kendal dan Grobogan,” sebut Suwandi.

Menurut Suwandi, dengan pola sistem methuk maka kebutuhan air masih terbantu dari hujan, dan sistem ini sudah berjalan sampai sekarang. Kondisi ini cocok diterapkan di area yang dikelola oleh Perhutani, misalnya di Lamongan, Tuban, Ponorogo dan daerah lainnya. “Dan saya meminta penyuluh untuk melakukan edukasi kepada petani. Di Grobogan sistem methuk dilakukan pada lahan kering IP400," jelasnya.