Koalisi Masyarakat serukan agar DPR fokus pada energi terbarukan

DPR perlu menunjukkan political will dan keberpihakan untuk memprioritaskan pengembangan energi terbarukan yang berkelanjutan di Indonesia.

Ilustrasi. Pekerja sedang memasang panel surya. Pixabay.com

Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mulai membahas draf Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) dengan mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama beberapa pemangku kepentingan.

Namun dari draf RUU yang beredar, terlihat bahwa pemanfaatan energi nuklir dan energi baru yang berbasis fosil masih diikutsertakan. Padahal Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk energi bersih berharap DPR akan mengeluarkan pasal-pasal tersebut dari rancangan undang-undang ini.

Pada pekan kemarin (17/9), di awal masa sidang ke-5, Komisi VII DPR mulai membahas draf RUU EBT dengan mengadakan RDPU bersama Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI), dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI). Pembahasan RUU ini menjadi harapan hadirnya payung hukum yang kuat untuk mendukung pengembangan energi terbarukan demi mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional serta komitmen Indonesia dalam menanggulangi dampak perubahan iklim. 

Oleh karena itu, koalisi ini  menyayangkan masuknya isu nuklir dan sumber energi baru berbasis energi fosil yang tidak berkelanjutan, seperti gas metana, gasifikasi batubara, dan likuifaksi batubara,  dalam pembahasan draft RUU ini.

Koalisi ini berpandangan Komisi VII DPR  seharusnya mengeluarkan isu nuklir dan energi baru dari draf RUU dan fokus membangun kerangka kebijakan yang komprehensif untuk energi terbarukan, seperti tenaga surya, air, angin, bioenergi, dan panas bumi, yang hingga saat ini masih menghadapi berbagai hambatan dan tantangan. Dengan kerangka kebijakan ini diharapkan dapat menyiapkan Indonesia untuk lebih cepat melakukan transisi energi menuju sistem energi yang bersih dan berkelanjutan.