Menanti momen window dressing di tengah inflasi dan bunga tinggi

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

Pada Senin (31/7) lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di zona hijau, pada level 7.098,89 atau menguat 0,61%. Tercatat, sebanyak 309 saham menguat, 273 saham stagnan dan 232 saham melemah. Berdasarkan laporan Bursa Efek Indonesia (BEI), frekuensi perdagangan saham pada hari itu tercatat sebanyak 1,19 juta kali. Dengan total saham yang berpindah tangan mencapai 21,23 miliar saham dan nilai transaksi sebanyak Rp14,14 triliun.

Namun, pada perdagangan Selasa (1/11) IHSG anjlok 0,66% menjadi 7.052,30 dan tetap berada di zona merah pada penutupan perdagangan hari berikutnya, Rabu (2/11), yakni di posisi 7.015,69, turun 0,52%.

Melambatnya reli perdagangan saham itu, kata Research Analyst Bank Negara Indonesia (BNI) Maxi Liesyaputra, disebabkan oleh kekhawatiran investor akan kemungkinan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed). Setelah sebelumnya Gubernur The Fed Jerome Powell mengindikasikan kenaikan suku bunga untuk menekan inflasi yang masih terlalu tinggi.

"Dan The Fed memang menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis points (bps) seperti yang telah diperkirakan," kata Maxi, kepada Alinea.id, Kamis (3/11).

Karenanya, tak heran pada perdagangan Rabu (2/11), bursa-bursa saham Asia Pasifik dibuka melemah, dengan penurunan terdalam dicatatkan oleh bursa Australia S&P/ASX 200 yang mencapai -2,23%. Sementara indeks Korea Selatan Kospi 1,41% dan Kosdaq -1,57%. Adapun Hang Seng Hongkong terkoreksi 3,08% dan Shanghai Composite melemah 0,19%.