Mengapa cukai minuman berpemanis penting bagi warga dan negara?

Pengawasan terhadap minuman manis baru sebatas dalam kemasan, belum termasuk minuman dari kedai. Prevalensi diabetes diprediksi meledak.

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

“Di mana ada ruko kosong, di situ (bakal) ada Mixue”. Begitulah meme yang viral di linimasa berbagai sosial media. Memang bukan kebetulan jika gerai es krim dan teh asal China ini menjadi sedemikian viral. Tak lain karena ‘invasinya’ yang massif hingga ke tingkat kecamatan di Indonesia.

Waralaba asal Zhengzhou, Henan, Tiongkok ini lahir dari tangan Zhang Hong Chao yang ingin memperbaiki ekonomi keluarga pada 1997 silam. Baru pada tahun 2020, Mixue masuk ke tanah air. Hanya dalam waktu dua tahun, kedai Mixue di Indonesia hingga Maret 2022 mencapai 317 buah dan dipastikan akan terus bertambah. Jenama ini juga menjadi waralaba food and beverages terbesar kelima dengan jumlah kedai terbanyak di dunia, yakni 21.582, berdasarkan data Momentum Works pada 2021.

Salah satu faktor mengapa Mixue bisa memiliki gerai bejibun tak lepas dari promosinya yang gencar. Apalagi, harga es krim yang dijual murah, mulai Rp8.000. Tak hanya Mixue, minuman kekinian lain seperti kopi, teh, maupun boba juga membanjiri tanah air dengan beragam varian rasa.

“Kedai minuman siap saji semakin banyak, jadi makin mudah diakses. Masalahnya adalah pengawasan dan regulasi belum cukup ketat mengatur minuman-minuman ini,” kata Chief of Research and Policy Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda kepada Alinea.id, Kamis (12/1).

Sejauh ini, kata dia, regulasi pemerintah soal minuman berpemanis masih menyasar Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MDBK). Sementara, minuman siap saji yang diproduksi kedai minuman yang menjamur di Indonesia, pengawasannya masih lemah.