Perjanjian dagang: Meningkatkan ekspor atau kebanjiran impor?

Perjanjian dagang dengan negara lain tidak hanya bisa meningkatkan ekspor RI namun membuka peluang banjirnya impor misalnya produk tekstil.

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB) menyampaikan kekhawatirannya, terkait potensi gempuran impor pakaian jadi yang akan dialami Indonesia. Hal ini bisa terjadi jika perjanjian Indonesia-Bangladesh preferential trading arrangements (PTA) terlaksana. Ancaman ini kian nyata di saat industri tekstil nasional mulai bergeliat kembali, setelah sebelumnya tersapu oleh dampak pagebluk. 

“Kalau impor garmen masuk lagi, ini akan kembali membebani IKM dan mengikis daya saing produk dalam negeri. Kemudian, bisa-bisa kami akan tutup lagi satu per satu,” kata Ketua IPKB Nandi, dalam keterangannya yang diterima Alinea.id, Jumat (4/3). 

Hal ini pun diamini oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta. Dia bilang, jika pemerintah menyanggupi poin-poin permintaan dari Bangladesh dalam perjanjian dagang yang saat ini tengah dibahas oleh kedua negara, bisa-bisa produk pakaian impor dari negara tersebut dapat membanjiri Indonesia. 

Sebagai informasi, dalam perundingan Indonesia-Bangladesh PTA, Bangladesh mengajukan permintaan untuk membebaskan 220 pos tarif produk tekstil, kulit dan alas kaki, dengan 133 diantaranya untuk pos tarif barang berkode HS 61 dan HS 62 atau produk pakaian jadi. Artinya, seluruh industri tekstil dari hulu hingga hilir akan terdampak perjanjian yang ditargetkan akan selesai perundingannya tahun ini tersebut. 

“Di hulu memang banyak perusahaan besar, tetapi ujung tombak yang nanti akan paling banyak terkena serangan langsung impor garmen dari Bangladesh itu industri-industri kecil yang ada di hilir,” ungkap Redma, saat dikonfirmasi Alinea.id, Minggu (13/3).