OJK merilis surat edaran baru yang mengatur pembagian risiko (co-payment) pada polis asuransi kesehatan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis surat edaran (SE) Nomor 7/2025. Dalam SE itu, OJK mengatur pembagian risiko (co-payment) pada polis asuransi kesehatan. Nilai yang ditanggung oleh pemegang polis, tertanggung atau peserta paling sedikit sebesar 10% dari total pengajuan klaim.
OJK berdalih penerapan sistem co-payment dalam asuransi kesehatan dapat meminimalisir fraud dan moral hazzard yang biasa terjadi saat pemegang polis berobat di rumah sakit. Salah satu praktik lancung yang ingin dicegah ialah overcharge dari pihak rumah sakit.
Direktur Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Cipto Hartono mengapresiasi langkah OJK. Tak mencegah fraud, menurut Cipto, SE itu juga bisa meminimalisasi praktik aji mumpung di kalangan nasabah.
Ia menyebut banyak nasabah mengklaim manfaat asuransi bukan berdasarkan kebutuhan mendesak, terapi karena merasa rugi jika klaim asuransi tidak dimanfaatkan.
"Ditemukan kasus, 'Kok ada sampai delapan puluh kali gitu berobat dalam setahun?' Ketika dibedah, sebenarnya enggak fraud, tapi karena orangnya malas. Enggak mau reimburse ketika dia cuma mau suntik insulin, gitu," kata Cipto dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, (13/6) lalu.