Terapkan 7 kebijakan strategis, BNI berhasil catat laba bersih Rp8,8 triliun di semester I-2022

The Fed beberapa waktu lalu telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 75 basis poin (bps) menjadi 3,25%.

ilustrasi. Istimewa

Kondisi makro ekonomi dalam proses pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 cukup menantang. Usai pandemi, adanya perang Rusia-Ukraina memicu krisis energi dan pangan yang berdampak pada naiknya harga komoditas energi dan pangan. Kenaikan harga energi dan pangan turut menaikkan lonjakan inflasi global, sehingga kenaikan suku bunga tak dapat dihindari sebagai upaya menekan inflasi.

The Fed beberapa waktu lalu telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 75 basis poin (bps) menjadi 3,25%. Kenaikan ini juga direspons oleh Bank Indonesia (BI) yang ikut menaikkan suku bunga (BI7DRR) sebanyak 50 bps menjadi 4,25% untuk menurunkan ekspektasi inflasi. BI memprediksi inflasi inti Indonesia pada tahun ini mencapai 4,6%.

“Pada akhir 2022 BI7DRR kemungkinan akan mengalami kenaikan 25 hingga 50 bps, ini untuk mengantisipasi kenaikan inflasi karena harga komoditas dan inflasi musiman jelang natal dan tahun baru. Sedangkan Fed Fund Rate berada di level median 3,5% di akhir tahun ini,” tutur Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI) Royke Tumilaar dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Selasa (27/9).

Selain menaikkan suku bunga, per 1 September 2022 BI juga mengerek rasio Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan menjadi 9%. Diketahui sejak 1 Maret hingga 15 September 2022, penyesuaian GWM telah menyerap likuiditas perbankan sekitar Rp269,3 triliun.

Adanya kebijakan tersebut, maka dampak bagi perbankan menurut Royke adalah likuiditas lebih ketat namun tetap longgar untuk penyaluran kredit dunia usaha.