Fenomena viral based policy alias kebijakan berbasis viral, di mana keputusan pemerintah diubah atau dibatalkan setelah menuai reaksi publik membawa sederet dampak negatif. Apa saja dan bagaimana sebaiknya?
Kebijakan pemerintah yang berubah-ubah karena tekanan opini publik di media sosial kerap terjadi. Fenomena viral based policy alias kebijakan berbasis viral, di mana keputusan pemerintah diubah atau dibatalkan setelah menuai reaksi publik, dinilai melemahkan kredibilitas kebijakan dan mengganggu kepastian bagi pelaku ekonomi.
Ekonom Rhenald Kasali menyebut pola seperti ini sebagai “testing the waters” yang tidak sehat jika terus dijadikan standar pengambilan keputusan. Ia mencontohkan, pembatalan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% ke 12% yang dilakukan oleh pemerintah pada tutup tahun 2024 lalu.
Semula, PPN 12% akan berlaku pada 2025. Para pelaku usaha pun telah bersiap menyesuaikan kebijakan kenaikan pajak tersebut. Namun, tepat pada 31 Desember 2024, Presiden Prabowo Subianto membatalkan rencana kenaikan itu.
“Begitu viral dan masyarakat protes, dibatalkan mendadak. Padahal label harga sudah dicetak ulang dan masyarakat sudah ada yang membeli produk dengan pajak baru. Lalu bagaimana mengembalikan uang konsumen satu per satu?” ujarnya dalam siniar, dikutip Jumat (13/6).
Contoh lain adalah pembatalan larangan pengecer menjual LPG 3 kilogram (kg) serta kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk ojek online yang sempat dihapus lalu dikembalikan. Yang terbaru, diskon tarif listrik sebesar 50% yang sudah diumumkan tapi tidak jadi dilaksanakan.