close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi viral based policy atau kebijakan berbasis viral. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi viral based policy atau kebijakan berbasis viral. Foto Freepik.
Bisnis
Jumat, 13 Juni 2025 14:09

Viral based policy, testing the waters yang ganggu stabilitas ekonomi

Fenomena viral based policy alias kebijakan berbasis viral, di mana keputusan pemerintah diubah atau dibatalkan setelah menuai reaksi publik membawa sederet dampak negatif. Apa saja dan bagaimana sebaiknya?
swipe

Kebijakan pemerintah yang berubah-ubah karena tekanan opini publik di media sosial kerap terjadi. Fenomena viral based policy alias kebijakan berbasis viral, di mana keputusan pemerintah diubah atau dibatalkan setelah menuai reaksi publik, dinilai melemahkan kredibilitas kebijakan dan mengganggu kepastian bagi pelaku ekonomi.

Ekonom Rhenald Kasali menyebut pola seperti ini sebagai “testing the waters” yang tidak sehat jika terus dijadikan standar pengambilan keputusan. Ia mencontohkan, pembatalan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% ke 12% yang dilakukan oleh pemerintah pada tutup tahun 2024 lalu.

Semula, PPN 12% akan berlaku pada 2025. Para pelaku usaha pun telah bersiap menyesuaikan kebijakan kenaikan pajak tersebut. Namun, tepat pada 31 Desember 2024, Presiden Prabowo Subianto membatalkan rencana kenaikan itu. 

“Begitu viral dan masyarakat protes, dibatalkan mendadak. Padahal label harga sudah dicetak ulang dan masyarakat sudah ada yang membeli produk dengan pajak baru. Lalu bagaimana mengembalikan uang konsumen satu per satu?” ujarnya dalam siniar, dikutip Jumat (13/6).

Contoh lain adalah pembatalan larangan pengecer menjual LPG 3 kilogram (kg) serta kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk ojek online yang sempat dihapus lalu dikembalikan. Yang terbaru, diskon tarif listrik sebesar 50% yang sudah diumumkan tapi tidak jadi dilaksanakan.

"Semuanya menunjukkan gejala keputusan yang tidak konsisten akibat tekanan viral di ruang publik digital," tutur Rhenald.

Sekadar informasi, pemerintah membatalkan rencana diskon tarif listrik 50% untuk Juni hingga Juli 2025. Kebijakan ini semula masuk dalam enam paket stimulus ekonomi yang diumumkan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto.

Diskon tarif listrik kemudian dialihkan dengan Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang sebelumnya belum pasti diberikan karena terkendala validasi penerima manfaat.

Bagaimana sebaiknya?

Guru Besar Ilmu Ekonomi Moneter Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty, menegaskan kebijakan publik tidak boleh dibuat hanya berdasarkan respons sesaat. Ia menekankan pentingnya perencanaan yang matang dan desain kebijakan yang kuat secara akademis maupun empiris.

“Kalau grand design-nya lemah, maka kebijakan jadi rentan berubah-ubah. Idealnya, kebijakan harus berbasis riset, bukan viralitas,” jelas Telisa dalam kesempatan serupa.

Ia juga menyoroti pentingnya sinkronisasi antarsektor untuk mencapai target-target makroekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan pengendalian inflasi. Menurutnya, setiap kebijakan harus diturunkan dari kerangka besar yang terukur dan memiliki tujuan jangka menengah maupun panjang.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai berubahnya kebijakan yang dilakukan baru-baru ini, yakni pembatalan diskon tarif listrik dan dialihkan ke BSU lantaran pemerintah belum siap dari sisi anggaran.

Ia menyebutkan pembatalan diskon tarif listrik justru berpotensi mengurangi stimulus terhadap konsumsi masyarakat kelas menengah dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), padahal kedua kelompok ini sangat membutuhkan dukungan.

“BSU hanya menjangkau pekerja formal dengan gaji di bawah Rp3,5 juta. Padahal upah minimum di Jabodetabek dan kawasan industri Jawa Barat-Banten sudah melebihi itu. Akhirnya cakupan BSU jadi terbatas dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi juga kecil,” ujarnya kepada Alinea.id, Kamis (12/6).

Nailul menyarankan agar sebagian anggaran BSU dialihkan kembali untuk diskon tarif listrik, yang dinilainya memiliki dampak lebih luas dan bisa mendorong belanja rumah tangga serta produktivitas usaha kecil.

Lebih lanjut, menurutnya, konsistensi dalam kebijakan ekonomi sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik dan pelaku usaha.

"Ketika kebijakan diumumkan namun dibatalkan karena tekanan viral, bukan hanya kredibilitas pemerintah yang dipertaruhkan, tapi juga stabilitas ekonomi secara keseluruhan," tutur Huda.

Ia menegaskan pemerintah perlu memperkuat proses perumusan kebijakan dengan melibatkan riset yang relevan, perencanaan jangka panjang, serta komunikasi publik yang lebih baik. Tujuannya bukan hanya untuk menghindari perubahan kebijakan mendadak, tetapi juga untuk membangun ekosistem ekonomi yang stabil dan berkelanjutan.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan