Agenda besar di balik ocehan Trump soal Yerusalem

Pengakuan Donald Trump bahwa Yerusalem sebagai ibu kota Israel bukan semata-mata menepati janji kampanye.

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Rabu (6/12) lalu mengumumkan kebijakan kontroversial.  Washington mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan berencana memindahkan Kedutaan Besar AS di Tel Aviv ke Yerusalem.

Trump telah menyentuh isu paling sensitif bagi umat Islam dan Palestina, yakni Yerusalem. Dari sudut pandang Palestina, kebijakan Trump menunjukkan sikap dan jati diri Washington sebenarnya sebagai kroni dan pelindung Israel. 

Dunia semakin tidak percaya dengan AS yang dari dulu ingin mewujudkan perdamaian di Palestina dengan berbagai mediasi dan konferensi. AS di bawah kepemimpinan Trump semakin ditinggal karena hanya memprovokasi semata, bukan mencari solusi jitu.

Intifada sebagai bentuk perjuangan Palestina melawan Israel akan terus berlanjut. Bukan hanya digelorakan Hamas yang mengambil jalur perlawanan terhadap Israel, melainkan semua elemen di Palestina akan bersatu melawan Israel. Intifada akan menggetarkan Israel dan AS karena Palestina bukan sebagai bangsa penakut seperti Israel yang selalu mengandalkan AS sebagai pelindungnya.

Pengamat politik dan keamanan, Salim Said, mengatakan kebijakan kontroversial Trump tentang Israel bukan semata-mata merealisasikan janji kampanye, melainkan pesan keras untuk Iran di tengan buruknya  hubungan politik dengan Arab Saudi. Trump, kata guru besar Universitas Pertahanan itu, memanfaatkan isu Sunni dan Si’ah.