sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Agenda besar di balik ocehan Trump soal Yerusalem

Pengakuan Donald Trump bahwa Yerusalem sebagai ibu kota Israel bukan semata-mata menepati janji kampanye.

Dede Suryana
Dede Suryana Senin, 11 Des 2017 12:38 WIB
Agenda besar di balik ocehan Trump soal Yerusalem

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Rabu (6/12) lalu mengumumkan kebijakan kontroversial.  Washington mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan berencana memindahkan Kedutaan Besar AS di Tel Aviv ke Yerusalem.

Trump telah menyentuh isu paling sensitif bagi umat Islam dan Palestina, yakni Yerusalem. Dari sudut pandang Palestina, kebijakan Trump menunjukkan sikap dan jati diri Washington sebenarnya sebagai kroni dan pelindung Israel. 

Dunia semakin tidak percaya dengan AS yang dari dulu ingin mewujudkan perdamaian di Palestina dengan berbagai mediasi dan konferensi. AS di bawah kepemimpinan Trump semakin ditinggal karena hanya memprovokasi semata, bukan mencari solusi jitu.

Intifada sebagai bentuk perjuangan Palestina melawan Israel akan terus berlanjut. Bukan hanya digelorakan Hamas yang mengambil jalur perlawanan terhadap Israel, melainkan semua elemen di Palestina akan bersatu melawan Israel. Intifada akan menggetarkan Israel dan AS karena Palestina bukan sebagai bangsa penakut seperti Israel yang selalu mengandalkan AS sebagai pelindungnya.

Pengamat politik dan keamanan, Salim Said, mengatakan kebijakan kontroversial Trump tentang Israel bukan semata-mata merealisasikan janji kampanye, melainkan pesan keras untuk Iran di tengan buruknya  hubungan politik dengan Arab Saudi. Trump, kata guru besar Universitas Pertahanan itu, memanfaatkan isu Sunni dan Si’ah. 

“Analisa saya bisa benar atau salah,” kata Salim dalam acara dialog TV One, kemarin. 

Sekjen Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, berpendapat senada. Menurut Mu’ti, meski Liga Arab telah menyampaikan sikap, namun tidak ada protes keras dari negara-negara Timur Tengah terkait pernyataan Trum. Ini lantara sangat bergantung kepada Arab Saudi. “Trump sudah menghitung risiko itu,” ujarnya.

Praktis hanya Iran dengan negara-negara Arab yang kontra dengan Amerika Serikatlah yang melayangkan protes keras. 

Sponsored

Sementara itu, pengamat hubungan internasional Agus Trihartono, menilai Trump tengah mencari gelanggang baru terkait kebijakannya mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Pemindahan Ibu Kota Israel ke Yerusalem, kata Agus, bukan tujuan utama. 

“AS sedang melakukan kocok ulang permainan. Salah satu alasan rasionalnya sangat mungkin karena 'gelanggang' lama sudah terlalu jenuh, bertele-tele, bahkan sudah buntu hingga merugikan Israel," kata dia seperti dikutip dari Antara.

Menurut Agus, AS sedang meminimalkan peluang kerugian jangka panjang, baik bagi Amerika maupun Israel dan berusaha melepaskan perannya sebagai mediator antara Israel dan negara-negara Arab dalam pendekatan dan perundingan konvensional yang sudah ada selama ini.

Keputusan Trump sulit dipahami dalam kaitan dengan sejarah proses perdamaian Timur Tengah, tetapi lebih mudah dengan melihat karir dan kepribadian Trump yang memperlakukan masalah Israel-Palestina sebagaimana negosiasi real estate di New York yang jauh dengan kepekaan politik, sejarah, dan budaya.

"Langkah Trump tentu tidak menguntungkan Palestina, namun kebuntuan perundingan Israel-Palestina selama ini sangat merugikan AS dalam jangka panjang, sehingga Trump membuat langkah yang sangat pragmatis," katanya.

Berita Lainnya
×
tekid