Ambisi nuklir Korut dan ancaman perang di tahun 2018

Sejumlah sanksi PBB dan penghentian ekspor migas China ke Korea Utara, tak menghalangi Kom Jong-un untuk terus melakukan ujicoba nuklir.

Ilustrasi nuklir. (foto: Pixabay)

Selama 2017, krisis nuklir Korea Utara dianggap meningkat ke titik tertinggi dalam beberapa dasawarsa terakhir. Bahkan, pada penghujung 2017, Pyongyang melepaskan 23 rudal yang terbagi dalam 16 tes. Pada bulan September misalnya, mereka melakukan uji coba senjata nuklir keenam dan terbesar, meski mendapat tekanan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dilansir dari The Korea Times, Rabu (27/12), sejumlah langkah untuk menghukum negara yang dipimpin Kim Jong-un sempat terhalang tindakan China yang menjadi sekutu dan mitra dagang terbesar Korea Utara (Korut). Bahkan, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump menuding China gagal membantu Washington untuk mendorong sanksi yang lebih keras terhadap Korut.

Meski demikian, sanksi Dewan Keamanan (DK) PBB pertama di bawah pemerintahan Trump datang pada bulan Juni silam. Sanksi tersebut ditargetkan bisa memutus hubungan keuangan perusahaan China dengan program rudal dan nuklir Korea Utara. Selain itu, China juga mendukung resolusi PBB yang berusaha melarang hampir 90% ekspor produk minyak mentah ke Korut.

Namun, Beijing meminta Washington untuk menahan diri dari tindakan yang lebih keras. Terutama setelah adanya latihan militer AS-Korea Selatan. Pada bulan Februari, China mengatakan akan menangguhkan semua pengiriman batubara, salah satu dari ekspor utama Korea Utara ke China. Impor barang-barang Korea Utara dari China juga terus menurun.

Dihadapkan pada kondisi itu, Pyongyang justru terus melanjutkan serangkaian uji coba rudalnya, termasuk peluncuran rudal balistik antarbenua pertama pada bulan Juli.