Dalam bayang-bayang konflik yang berkecamuk di Ukraina, ribuan tentara Korea Utara dikirim untuk mendukung pasukan Rusia. Namun, di balik layar, rezim Pyongyang menghadapi tantangan besar: meredam kemarahan dan kesedihan keluarga para prajurit yang tewas, tanpa memberikan kejelasan tentang nasib mereka.
Sejak akhir 2023, Korea Utara secara diam-diam mengirimkan ribuan tentaranya ke Rusia untuk mendukung invasi Moskow ke Ukraina. Langkah ini, yang awalnya dirahasiakan, kini telah diakui secara terbuka oleh Pyongyang. Namun, di balik pengakuan tersebut, pemerintah Korea Utara menghadapi tantangan besar dalam meredam kemarahan keluarga para prajurit yang tewas di medan perang.
Menurut laporan intelijen dari Korea Selatan, sekitar 11.000 hingga 12.000 tentara Korea Utara telah dikerahkan ke wilayah Kursk di Rusia sejak musim gugur 2024. Pada awal 2025, sekitar 3.000 tentara tambahan dikirim untuk memperkuat pasukan yang ada. Pasukan ini sebagian besar ditempatkan sebagai unit penyerang garis depan, meskipun mereka dilaporkan kurang terlatih dalam menghadapi ancaman seperti drone.
Hingga April 2025, diperkirakan sekitar 4.700 tentara Korea Utara menjadi korban, dengan sekitar 600 di antaranya tewas. Sebagian besar jenazah dikremasi di Rusia sebelum dikirim kembali ke Korea Utara, sebuah praktik yang mempersulit keluarga untuk melakukan pemakaman tradisional dan memperkuat rasa kehilangan mereka.
Kematian yang dirahasiakan
Pemerintah Korea Utara menerapkan kebijakan kerahasiaan yang ketat terkait keberadaan dan kematian tentara mereka di medan perang Rusia. Informasi tentang jumlah korban, lokasi kematian, dan tempat pemakaman dirahasiakan, bahkan dari keluarga terdekat. Sebagai gantinya, keluarga hanya menerima pemberitahuan bahwa anak mereka "gugur demi partai dan pemimpin besar," tanpa rincian lebih lanjut.Disebutkan juga bahwa mereka tewas dalam latihan pertempuran.
Radio Free Asia melaporkan, untuk mengendalikan penyebaran informasi, pemerintah mengadakan pertemuan di lingkungan kerja dan komunitas, menginstruksikan warga untuk melaporkan siapa pun yang menyebarkan "rumor" tentang tentara yang tewas di Rusia. Ancaman hukuman berat, termasuk kerja paksa hingga hukuman mati, diberlakukan bagi pelanggar.
Sebagai bentuk kompensasi, keluarga prajurit yang gugur diberikan keanggotaan anumerta dalam Partai Pekerja Korea, yang membawa keuntungan seperti akses ke perumahan, pekerjaan, pendidikan, dan jatah makanan yang lebih baik. Namun, banyak keluarga merasa bahwa penghargaan ini tidak sebanding dengan kehilangan yang mereka alami, terutama tanpa mengetahui detail kematian anak mereka.
Di tengah tekanan ini, beberapa keluarga mulai mempertanyakan kebijakan pemerintah. Mereka merasa marah dan frustrasi karena tidak mendapatkan informasi yang jelas tentang nasib anak mereka. Namun, dalam masyarakat yang diawasi ketat, menyuarakan ketidakpuasan dapat berakibat fatal.
Sementara itu, para tentara yang dikirim ke Rusia menghadapi kondisi yang berat. Banyak dari mereka mengalami trauma psikologis akibat pertempuran sengit dan perintah ekstrem, seperti bunuh diri jika tertangkap oleh musuh. Beberapa laporan menyebutkan bahwa tentara diperintahkan untuk meledakkan diri sebelum ditangkap, menunjukkan betapa kerasnya tekanan yang mereka hadapi.
Situasi ini mencerminkan dilema besar bagi rezim Korea Utara. Di satu sisi, mereka ingin menunjukkan dukungan kepada sekutu mereka, Rusia. Di sisi lain, mereka harus menghadapi dampak domestik dari kebijakan ini, termasuk kemarahan keluarga prajurit dan potensi ketidakstabilan sosial. Dengan terus menekan informasi dan mengontrol narasi, Pyongyang berusaha menjaga stabilitas internal, meskipun dengan mengorbankan transparansi dan kepercayaan publik.
Dalam menghadapi tantangan ini, masyarakat Korea Utara terus hidup dalam ketidakpastian, berharap akan perubahan yang mungkin tak kunjung datang. Terlebih sang pemimpin Kim Jong-un terus asyik memanjakan Rusia, dengan berjanji akan terus mendukung sekutu historisnya itu dalam perang di Ukraina.
Pada 4 Juni, Rabu kemarin, Kim Jong Un bertemu dengan Sekretaris Dewan Keamanan Rusia, Sergei Shoigu, di Pyongyang. Dalam pertemuan tersebut, Kim menyatakan dukungan "tanpa syarat" untuk Rusia dalam konflik di Ukraina. Ini menegaskan kembali komitmen Korea Utara terhadap perjanjian pertahanan bersama yang ditandatangani pada 2024. Pernyataan ini mencerminkan kedekatan yang semakin erat antara kedua negara, meskipun mendapat kecaman dari komunitas internasional, dan penentangan dari rakyatnya sendiri yang merasa dikorbankan. (rfa,abcnews)