Dari Afghanistan ke Ukraina: Bagaimana korporasi senjata mengeksploitasi perang

Perusahaan-perusahaan AS mendominasi penjualan senjata sejak tiga dekade terakhir.

Ilustrasi alutsista. Alinea.id/Aisya Kurnia

Mengenakan topi sinterklas, seorang prajurit Ukraina berdiri mematung di tengah kegelapan malam. Di belakang sang prajurit, sebuah truk taktis yang dilengkapi high mobility artillery rocket system (Himars) M142 tengah sibuk "bekerja". Dari truk itu, kembang api dan asap putih menyembur. Roket-roket meluncur bergiliran.

Begitulah gambaran sebuah video perang yang dirilis Januari lalu. Pemerintah Ukraina menyebut itu adalah cuplikan serangan ke barak militer Rusia di Makiivka, kawasan Ukraina timur. Setidaknya 400 prajurit disebut tewas dalam serangan tersebut. Itu jadi jumlah korban militer Rusia tertinggi sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022. 

Di kubu seberang, Rusia mengklaim hanya sekitar 89 prajurit yang tewas pada serangan itu. Pejabat Rusia menyalahkan para prajurit yang menggunakan telepon seluler secara "berjamaah" sebagai biang keladi bocornya lokasi barak. 

"Faktor ini memungkinkan pihak musuh melacak sekaligus menentukan koordinat lokasi pasukan untuk serangan misil," tulis Kementerian Pertahanan Rusia dalam sebuah siaran pers.

Terlepas dari polemik jumlah korban, itu adalah kesekian kalinya serangan militer via Himars sukses dieksekusi. Diterjunkan ke berbagai medan tempur sejak Juni 2022, roket-roket Himars bisa menempuh jarak hingga 80 kilometer dan dipandu satelit. Jarak tempuh roket Himars sekitar 10 kilometer lebih jauh ketimbang roket yang diluncurkan dari BM-30 Smerch milik Rusia.