Burma dan saga biksu-biksu revolusi

Sepanjang sejarah, kaum biksu berulang kali keluar biara untuk menentang junta militer yang berkuasa di Burma.

Ilustrasi biksu Buddha di Burma. Alinea.id/Oky Diaz

Tak lama setelah Jenderal Ne Wien mengkudeta Burma (kini bernama Myanmar) pada awal Maret 1962, sekitar 40 pemuda dari etnis Shan berkumpul di sebuah biara milik U Na King di Rangoon. Di kuil itu, mereka menggurat nadi dengan pisau dan mengucurkan darah ke sebuah gelas berisi anggur beras. 

Usai bergantian menenggak anggur bercampur darah itu, sebuah sumpah dideklarasikan. Di depan U Na King, biksu berdarah Shan itu, mereka berjanji bakal berjuang membebaskan bangsa Shan dari Burma. "Jika perlu, mereka akan berkorban nyawa," tulis Bertil Lintner dalam Burma in Revolt: Opium and Insurgency since 1948. 

Oleh U Na King, para revolusioner muda itu diberikan nama-nama samaran baru. Semua nama diawali hso. Dalam bahasa etnis Shan, hso berarti harimau, melambangkan keberanian dan determinasi. Hso juga lambang nasional Shan, salah satu kelompok etnis terbesar di Burma. 

Menurut Lintner, kebangkitan pemberontak Shan ketika itu mengkhawatirkan bagi rezim Ne Win yang usianya baru seumur jagung. Pasalnya, mayoritas orang Shan tinggal di wilayah perbatasan Thailand, musuh bebuyutan Burma. Sejak era kolonial Inggris, biksu-biksu di Shan State juga terkenal militan.

"Karena alasan-alasan etnis dan sejarah, biksu-biksu Shan juga cenderung lebih dekat ke Shanga (ordo kebiksuan) Thailand ketimbang ordo kebiarawanan Burma," tulis Lintner.