close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Chinlone. Foto: Aljazeera
icon caption
Chinlone. Foto: Aljazeera
Peristiwa
Kamis, 05 Juni 2025 20:32

Perang Myanmar memebenamkan olahraga Chinlone ke ambang kepunahan

Sayangnya, konflik bersenjata di negara bagian Rakhine membuat pasokan rotan semakin sulit didapat.
swipe

Chinlone, olahraga tradisional Myanmar yang memadukan keanggunan seni dan ketepatan teknik, bukan sekadar permainan bola rotan—ia adalah cerminan budaya, kesabaran, dan kebersamaan. Namun, keberlangsungan warisan ini kini menghadapi ancaman besar akibat pandemi, kudeta militer, dan konflik sipil yang memicu kemiskinan serta kelangkaan bahan baku rotan, membuat masa depan chinlone kian suram.

Berakar dari tradisi berusia lebih dari 1.500 tahun, chinlone adalah permainan nasional Myanmar yang memadukan unsur olahraga dan pertunjukan seni. Permainan ini sering diiringi musik, dengan pria bermain secara berkelompok dalam formasi lingkaran, saling mengoper bola menggunakan kaki, lutut, dan kepala secara bergaya. Sementara itu, wanita biasanya bermain solo dalam aksi akrobatik seperti menyeimbangkan diri di atas kursi, berjalan di atas tali, hingga memutar payung sambil terus menendang bola.

“Begitu Anda mulai memainkan permainan ini, Anda melupakan segalanya,” kata Win Tint (74), veteran chinlone. “Anda hanya berkonsentrasi pada sentuhan Anda, dan Anda hanya berkonsentrasi pada gaya Anda.”

Namun, partisipasi dalam olahraga ini terus menurun sejak pandemi COVID-19, diperparah oleh kudeta militer pada 2021 dan konflik sipil yang menyusul. Ketidakstabilan ini menyebabkan meningkatnya kemiskinan serta kesulitan dalam memperoleh rotan berkualitas tinggi yang menjadi bahan utama bola chinlone.

Tak hanya di Myanmar, permainan serupa juga dikenal luas di Asia Tenggara. Di Thailand, Malaysia, dan Indonesia dikenal sebagai “sepak takraw” yang dimainkan dengan net. Di Laos, disebut “kataw”, di Filipina “sipa”, dan di Tiongkok, permainan serupa dilakukan dengan menendang shuttlecock di taman-taman umum.

Chinlone sendiri dulunya merupakan hiburan istana dan bentuk latihan fisik, hingga akhirnya dikodifikasi secara resmi pada 1953 sebagai bagian dari upaya membentuk identitas budaya nasional pascakemerdekaan dari Inggris.

“Tidak ada orang lain yang akan melestarikan warisan tradisional Myanmar kecuali orang Myanmar sendiri,” ujar Min Naing (42), seorang pemain.

Meski situasi negara masih bergolak, para pemain tetap berkumpul di bawah jembatan layang, di dekat lampu jalan yang redup akibat pemadaman listrik, atau di lapangan-lapangan darurat untuk tetap menjaga nyala semangat olahraga ini.

Di sisi lain, para perajin bola chinlone seperti Pe Thein (64) di Hinthada masih berjuang melawan keterbatasan. Duduk bersila, mereka dengan cermat mengupas dan menenun rotan menjadi bola berlubang pentagonal, kemudian merebusnya agar lebih tahan lama.

“Kami memeriksa kualitas rotan seperti memeriksa berlian,” ujar Pe Thein. “Seperti kita menghormati rotan chinlone, rotan chinlone juga menghormati kita.”

Sayangnya, konflik bersenjata di negara bagian Rakhine membuat pasokan rotan semakin sulit didapat. Banyak petani takut masuk ke hutan yang kini menjadi medan tempur. Bagi Maung Kaw, pemilik usaha bola chinlone, kondisi ini sangat memukul bisnis kecilnya yang hanya menghasilkan sekitar $2,40 per bola, dengan waktu produksi dua jam per buah.

Kini, warisan budaya ini bertahan di antara nyala semangat para pemain dan ketekunan para perajinnya, meski bayang-bayang kepunahan kian nyata.(aljazeera)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan