Kemarahan tumbuh di Tunisia

Aksi protes dengan bakar diri pedagang buah di Tunisia menginspirasi lahirnya Arab Spring di Timur Tengah.

Seorang gadis berjalan melewati tugu peringatan Mohamed Bouazizi, PKL yang membakar dirinya 10 tahun lalu di Sidi Bouzid, Tunisia, 8 Desember 2020. REUTERS/Angus McDowall

Sepuluh tahun lalu, seorang penjual buah membakar dirinya di kota Sidi Bouzid, Tunisia tengah. Insiden terjadi setelah dirinya bertengakar dengan seorang polisi wanita tentang  tempat berjualannya. Kata-kata pembangkangan Mohammed Bouazizi dengan cepat menyebar dan memicu protes nasional yang akhirnya menggulingkan pemimpin lama Tunisia dan membantu menginspirasi pemberontakan di seluruh wilayah yang disebut Arab Spring.

Demonstrasi besar-besaran terjadi di Mesir dan Bahrain, pemerintahan jatuh dan perang saudara melanda Libya, Suriah, dan Yaman. Sekarang rakyat Tunisia bebas memilih pemimpin mereka dan dapat secara terbuka mengkritik negara. Namun, untuk semua kekacauan yang telah mereka alami, banyak orang mengingat kembali peristiwa tahun 2010 dan menyesali impian mereka tetap tidak terpenuhi.

“Ada yang tidak beres dalam revolusi,” kata Attia Athmouni, pensiunan guru filsafat yang membantu memimpin pemberontakan, setelah kematian Bouazizi dengan berdiri di gerobak penjual buah yang ditinggalkan untuk berbicara kepada orang banyak pada malam dia meninggal.

Protes terjadi dalam beberapa pekan terakhir di kota-kota selatan Tunisia yang lebih miskin karena pengangguran, layanan negara yang buruk, ketidaksetaraan, dan serbakekurangan. Perjuangan berat untuk mendapatkan gas agar bisa memasak merupakan kesulitan yang dihadapi orang-orang biasa di negara di mana ekonominya stagnan, membuat publik marah seperti satu dekade lalu.

Dekat dengan kota Sidi Bouzid, kerumunan orang menempatkan batu besar di seberang aspal untuk memblokir jalan utama pada pekan lalu. Mereka ingin truk yang membawa tabung gas untuk memasak ke kota diturunkan di desa mereka.