Sisi kelam Brasilia: Bagaimana suku pribumi tersingkir di ibu kota baru

Pemindahan ibu kota dari Rio ke Brasilia turut memicu diskriminasi dan kriminalisasi terhadap warga pribumi di seantero Brasil.

Ilustrasi Brasilia, ibu kota Brasil. /Foto Pixabay

Telat pulang ke tempat mondok, Galdino Jesus dos Santos, 44 tahun, memutuskan untuk tidur di sebuah stasiun bus di Brasilia, Brasil, pada malam 20 April 1997. Hari itu, ia baru saja ikut aksi unjuk rasa besar yang digelar komunitas kaum adat di ibu kota. 

Keputusan Galdino berbuah tragedi. Saat tengah terlelap, lima orang remaja mendekati pemimpin suku Pataxó-Hã-Hã-Hãe itu. Oleh mereka, Galdino disiram bensin. Api membakar sekujur tubuhnya. Di rumah sakit, Galdino mengembuskan nafasnya yang terakhir. 

"Mereka mengakui kejahatan mereka. Akan tetapi, mereka bilang tak berniat untuk membunuhnya. Menurut mereka, itu hanya lelucon," kata kepala kepolisian Brasil Marco Aurelio Martins seperti dikutip dari Associated Press. 

Di persidangan, lelucon para pelaku hanya dihukum ringan. Empat orang pelaku--dua di antaranya ialah anak dari hakim yang menyidangkan kasus kematian Galdino--dibebaskan dari semua dakwaan. Satu pelaku lainnya divonis bui selama 3 tahun di penjara anak-anak. 

Kematian Galdino merupakan satu dari sekian banyak kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum pribumi yang terjadi di Brasilia dan daerah penyangga ibu kota. Tak hanya dirampas lahannya, sebagian warga pribumi yang beralih jadi aktivis bagi komunitas adat mereka rutin ditemukan mati.