sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sisi kelam Brasilia: Bagaimana suku pribumi tersingkir di ibu kota baru

Pemindahan ibu kota dari Rio ke Brasilia turut memicu diskriminasi dan kriminalisasi terhadap warga pribumi di seantero Brasil.

Christian D Simbolon
Christian D Simbolon Selasa, 15 Feb 2022 17:16 WIB
Sisi kelam Brasilia: Bagaimana suku pribumi tersingkir di ibu kota baru

Telat pulang ke tempat mondok, Galdino Jesus dos Santos, 44 tahun, memutuskan untuk tidur di sebuah stasiun bus di Brasilia, Brasil, pada malam 20 April 1997. Hari itu, ia baru saja ikut aksi unjuk rasa besar yang digelar komunitas kaum adat di ibu kota. 

Keputusan Galdino berbuah tragedi. Saat tengah terlelap, lima orang remaja mendekati pemimpin suku Pataxó-Hã-Hã-Hãe itu. Oleh mereka, Galdino disiram bensin. Api membakar sekujur tubuhnya. Di rumah sakit, Galdino mengembuskan nafasnya yang terakhir. 

"Mereka mengakui kejahatan mereka. Akan tetapi, mereka bilang tak berniat untuk membunuhnya. Menurut mereka, itu hanya lelucon," kata kepala kepolisian Brasil Marco Aurelio Martins seperti dikutip dari Associated Press. 

Di persidangan, lelucon para pelaku hanya dihukum ringan. Empat orang pelaku--dua di antaranya ialah anak dari hakim yang menyidangkan kasus kematian Galdino--dibebaskan dari semua dakwaan. Satu pelaku lainnya divonis bui selama 3 tahun di penjara anak-anak. 

Kematian Galdino merupakan satu dari sekian banyak kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum pribumi yang terjadi di Brasilia dan daerah penyangga ibu kota. Tak hanya dirampas lahannya, sebagian warga pribumi yang beralih jadi aktivis bagi komunitas adat mereka rutin ditemukan mati. 

Itu setidaknya diamini Irémirí Tukano, salah satu anggota kaum adat Ye’pâ-masa atau Daséa. Kaum Daséa merupakan salah satu etnis terbesar dalam kelompok komunitas adat pengguna bahasa Tukano. Mayoritas komunitas adat itu tinggal di utara hutan Amazon. 

Keluarga Irémirí pindah ke Brasilia sekitar 14 tahun lalu. Mereka menempati sebuah rumah yang tak jauh dari gedung parlemen di kota itu. Kini tengah kuliah di jurusan pariwisata di University of Brasília (UnB), Irémirí mengaku rutin jadi target perisakan dan diskriminasi sejak tinggal di kota itu. 

Salah satu peristiwa pahit yang paling membekas terjadi pada 2012. Ketika itu, Irémirí sedang magang di Kementerian Kebudayaan Brasil. Saat sedang mengantarkan dokumen, salah satu pegawai kementerian itu menanyakan apakah Iremiri termasuk warga asli Hutan Amazon. 

Sponsored

"Saya bilang iya. Lalu dia berkata, 'Apa yang kamu lakukan di sini? Kamu sebaiknya kembali ke semak-semak. Kamu tidak perlu kerja di sini," kenang Iremiri. "Rasanya menyakitkan. Saya tidak pernah lupa. Saya tidak ingin anak-anak saya mengalami hal yang sama." 

Sejak kecil, menurut Iremiri, dia dan saudara-saudaranya jadi target perundungan karena bentuk tubuh, pakaian, dan kebiasaan mereka. Di sekolah, mereka juga harus berjuang keras supaya bisa berbahasa Portugis seperti anak-anak lainnya. Portugis adalah bahasa nasional Brasil. 

"Saya harus bekerja dua kali lebih keras, belajar bahasa Portugis dan juga belajar mata pelajaran lainnya, untuk menunjukkan bahwa saya punya kemampuan, bahwa saya saya bisa belajar seperti mereka," ujar Iremiri. 

Berbasis data milik Brazilian Institute of Geography and Statistics (IBGE), setidaknya ada 6.000 penduduk pribumi yang tinggal di Brasilia pada 2015. Sebagian merupakan penghuni asli daerah itu sebelum dibangun jadi ibu kota. Sebagian lainnya merupakan pendatang yang ikut dimobilisasi untuk membangun kota modern itu. 

Ilustrasi aksi protes warga pribumi di Brasilia. /Foto dok. Greenpeace

Riwayat diskriminasi 

Brasilia dibangun untuk menggantikan Rio sebagai ibu kota Brasil pada dekade 1960-an. Ketika itu, Brasil berada di bawah kekuasaan Presiden Juscelino Kubitschek de Oliveira. Kubitschek memindahkan ibu kota lantaran Rio dianggap tak lagi punya ruang untuk tumbuh sebagai kota metropolitan. 

Mayoritas dana pembangunan diperoleh dari utang luar negeri. Untuk menggarap proyek itu, Kubitschek menugaskan sejumlah arsitek, termasuk di antaranya Lúcio Costa dan Oscar Niemeyer. Kuli proyek diambil dari kaum imigran, warga pribumi, dan quilombolas--keturunan budak Afrika-Brasil. 

Sejak awal, pemerintah Kubitschek tak pernah menimbang kehadiran suku-suku Indian di area yang didesain jadi ibu kota baru dan kawasan penyangga. Itu, misalnya, terlihat saat Kubitschek memerintahkan Niemeyer membangun sebuah hotel mewah yang kelak dinamai Hotel JK di Pulau Bananal. 

Bananal adalah pulau yang terbentuk dari pembelahan Sungai Araguaia, salah satu sungai besar yang melintasi Brasilia. Berluas hampir 20 ribu kilometer persegi, pulau itu didiami sejumlah suku, di antaranya suku Karajá, Javaés, Ava-Canoeiro, dan Tuxá. 

Seiring dengan pembangunan Brasilia, Kubitschek berupaya mengubah Bananal menjadi taman nasional. Di pulau itu, ia juga ingin ada hotel yang bisa dipakai kalangan elite politik dan birokrat yang berencana datang dan tinggal di Brasilia. 

Dalam "Introduction to the Karajá and the Brazilian Frontier" di buku Peoples and Cultures of Native South America yang terbit pada 1973, Christopher J. Tavener menulis kebijakan Kubitschek menstimulasi beragam jenis invasi ke Pulau Bananal. 

Salah satunya ialah menyebabkan menjamurnya peternakan di dekat desa suku Karaja. Ternak-ternak itu dibiarkan menjelajahi pulau sehingga desa orang-orang Karaja harus dipasangi pagar besi berduri. Kehadiran peternakan mengurangi luas kawasan hutan yang jadi sumber kehidupan kaum Karaja dan suku-suku lainnya di pulau itu. 

"Tidak pernah ada dana yang disiapkan untuk memagari padang rumput. Satu-satunya solusi murah ialah dengan memagari desa, membuat desa itu seolah jadi kamp pengasingan untuk memenjarakan orang-orang Karaja ketimbang menjaga ternak masuk ke desa," tulis Tavener. 

Suku-suku dari seantero Brasil berkumpul di Brasilia untuk memprotes undang-undang perampasan lahan dalam aksi unjuk rasa pada Agustus 2021. /Foto dok Greenpeace

Antropolog dari University of Brasilia Thais Nogueira mengatakan kontak dengan kehidupan modern berdampak buruk terhadap suku-suku pribumi. Terletak di dataran tinggi, menurut Nogueira, pada mulanya Brasilia adalah kawasan hutan perawan. Tidak ada kehidupan urban di sana. 

Saat pembangunan Brasilia dimulai, banyak orang-orang pribumi yang dieksploitasi, termasuk di antaranya dilibatkan sebagai pekerja proyek. Namun, kontribusi mereka dalam proses pembangunan itu sama sekali tidak dicatat dalam dokumen sejarah resmi. 

"Itu (Brasilia) adalah sebuah rute transit. Kehadiran orang-orang pribumi terasa hampir di seluruh kawasan Brasilia. Tapi, perlahan-lahan kehadiran itu terhapus," kata Noguiera seperti dikutip dari Mogabay

Seiring waktu, suku-suku yang tinggal di seantero Brasilia kian terdesak gerak maju pembangunan. Pada dekade 1980-an, menurut Nogueira, orang-orang pribumi mulai meminta pemerintah membuat garis demarkasi untuk melindungi tanah adat mereka. Namun, permintaan itu tak pernah digubris. 

Pada akhir 1980-an, konflik antara warga pribumi, pengembang, dan pemerintah pecah saat memperebutkan area konservasi Santuário dos Pajés di barat laut Brasilia. Di kawasan itu, pemerintah Brasil berencana membangun permukiman modern. 

Meskipun diprotes komunitas adat yang tinggal di kawasan itu, pemerintah dan pengembang jalan terus. Dalam proyek itu, menurut Nogueira, traktor-traktor milik pengembang bahkan meratakan kuburan dan situs-situs arkeologi peninggalan kaum pribumi. 

"Tujuannya ialah untuk membangun Brasilia modern yang ideal, mengarah ke masa depan, dan meninggalkan visi rural dan agrikultural. Untuk membangun versi resmi ini, semuanya dihapus. Ini adalah bentuk penghapusan yang disengaja," jelas Nogueira. 

Setelah pertempuran legal hingga lebih dari satu dekade, pengadilan memutuskan memenuhi tuntutan kaum adat pada 2018. Setidaknya sekitar 32 hektare lahan di Santuário dos Pajés ditetapkan jadi kawasan lingga alam masyarakat pribumi. Hingga kini, hanya Santuário dos Pajés yang berstatus seperti itu di Brasilia. 

Gedung JK Memorial di Brasilia, Brasil. /Foto Unsplah

Simbol kolonisasi

Dalam "Brasília: Colonial Capital" yang terbit di e-flux Architecture pada Oktober 2020, pakar teori spasial dari Pontificia Universidad Católica del Ecuador, Paulo Tavares menyebut pembangunan Brasilia sebagai simbol kolonisasi oleh negara terhadap suku-suku pribumi. 

Sebagai penguat argumen, ia mengutip omongan mantan jenderal Golbery do Couto e Silva yang mengintepretasikan Brasília sebagai 'platform untuk meluncurkan front okupasi dan integrasi baru terhadap hutan Amazon.' Pada era Kubitschek, Golbery pernah menjabat kepala badan intelijen Brasil dan sejumlah jabatan tinggi di militer. 

"Diterjemahkan ke dalam beragam rencana, proyek, dan arsitektur, kebijakan kolonisasi militer ini, sebagaimana dilaporkan Komisi Kebenaran Brasil, bertanggung jawab atas pengusiran paksa dan pembunuhan ribuan orang dari suku-suku pribumi," kata Tavares. 

Laporan Komisi Kebenaran Brasil yang dimaksud Tavares terkait penemuan dokumen riset dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di berbagai kawasan konservasi yang digarap pengacara publik Jader de Figueiredo Correia. Rampung disusun dan diserahkan pada Kementerian Dalam Negeri Brasil pada 1967, dokumen setebal 7.000 halaman dilaporkan hilang pada era rezim militer. 

Dalam laporannya, Figueiredo merinci berbagai kejahatan yang dilakukan pejabat pemerintah dan aparat keamanan di kawasan konservasi suku-suku pribumi. Setidaknya ada 134 pejabat yang disebut Figueiredo terlibat dalam 1.000 tindakan pidana. 

Kebanyakan kasus yang dilaporkan Figueiredo terkait pemalsuan izin penggunaan lahan, penyalahgunaan anggaran perlindungan masyarakat adat, dan upaya-upaya korupsi atau memperkaya diri sendiri. Kasus-kasus lainnya lebih keji, semisal pemerkosaan, perbudakan, hingga pembunuhan sistematis terhadap masyarakat adat lewat pengeboman atau racun. 

Di luar fakta-fakta kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap kaum pribumi, Tavares menilai, Brasilia juga kaya dengan tamsil dan monumen yang menyimbolkan kolonialisme dan perbudakan. Ia mencontohkan 
"janggalnya" kehadiran film O Bandeirante karya Jean Manzon yang rutin ditayangkan di Gedung JK Memorial, Brasilia.

Diputar di ruangan yang bersebelahan dengan ruang makam Kubitschek, film itu mengisahkan petualangan para bandeira. Terkenal karena kebengisannya, bandeira ialah kelompok paramiliter yang menjelajahi Brasil untuk menangkap suku-suku pribumi guna dijual menjadi budak dan mencari bahan-bahan mineral. 

"Memorialisasi kolonialisme di Brasilia masih berperan sebagai imaji atau wacana untuk melegitimasi kebijakan pemerintah seperti ini, yang kini bahkan mendapat kekuatan baru dengan hadirnya pemerintahan kanan Presiden Jair Bolsonaro," tulis Tavares. 

Bolsonaro memang terkesan "berencana" merampas sisa lahan yang masih dipertahankan suku-suku pribumi di Brasil. Lewat undang-undang bernomor PL 510/21, Bolsonaro bakal melegalkan invasi industri dan pertanian ke Amazon. Kini, UU itu tengah menanti ketok palu di Senat Brasil. 

 

Berita Lainnya
×
tekid