A Man Called Ahok: Biopik nir-politik dalam kemasan biasa

Akting para pemain buruk. Untungnya, film tak terjebak pada glorifikasi sosok Ahok atau muatan politis lainnya.

Daniel Mananta berperan sebagai Ahok dalam biopik ini./ Instagram VJ Daniel

Kita perlu bersepakat, Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama adalah tokoh kontroversial. Sepak terjangnya sejak menjadi anggota dewan hingga pemimpin daerah diwarnai drama yang tak henti bergulir. Meski kini ia mendekam di balik sel penjara, namanya masih selalu dibicarakan para pendukung fanatik maupun lawan politik. 

Sebuah film biopik tentang Ahok pun diangkat ke layar lebar dengan judul "A Man Called Ahok". Cerita tidak fokus pada karir politik atau pemikiran Ahok dalam mereformasi aturan. Namun, lebih banyak menelanjangi Ahok kecil, juga seluruh keluarganya, termasuk Tjoeng Kim Nam, ayah Ahok yang seorang tauke di Gantung, Belitung Timur.

Kim Nam (Deny Sumargo) adalah pengusaha tambang timah yang sangat terpandang di Gantung. Ia adalah tipe orang kaya yang dermawan. Tak segan dia membagi rezeki kepada para tetangga. Dalam kondisi keuangan keluarga yang sedang surut pun, tauke ini selalu memberi pinjaman uang pada orang yang sedang kesulitan.

Boen Nen Tjaw (Eriska Rein), istri Kim, selalu menentang suaminya. Boen acapkali protes karena Kim terus-terusan membantu para tetangga. Pertengkaran mereka menjadi hal yang biasa dilihat Ahok remaja (Eric Febrian) dan ketiga adiknya, Basuri, Fifi, dan Harry sehari-hari. Meski sering adu mulut, namun mereka tetap rukun.

Kepada keempat anak-anaknya, Kim selalu menanamkan kedisiplinan dan kedermawanan. Baginya, berbagi dengan sesama manusia adalah kewajiban, meski tengah terjepit sekalipun. “Berbagi dalam ketiadaan,” begitu dia menyebutnya.