Agar Natal tak berakhir jadi ritual tradisional

Pendeta Suarbudaya menawarkan cara baru memaknai perayaan Natal, terutama bagi kelompok prekariat.

Ilustrasi Natal./ AP

Akhir pekan lalu dirasa berbeda buat Christina. Mestinya, Sabtu (23/12) ada kewajiban masuk kantor hingga tengah hari, namun ia memilih cuti. Sedari pagi, ia sibuk mengemas ranselnya dan bergegas pergi ke Bandara Soekarno Hatta beberapa jam berselang. “Setahun enggak pulang. Natal jadi kesempatan buat bertemu keluarga dan beribadah di gereja bersama,” ujarnya pada saya.

Christina adalah karyawan salah satu perusahaan pembiayaan di Jakarta Selatan. Dengan jam kerja padat dari Senin sampai Sabtu, jarang sekali perempuan 30 tahun itu bisa pulang ke Kupang, NTT, tempat asalnya. Sehingga, momentum Natal sendiri ia maknai sebagai perayaan religius yang pantang buat dilewatkan.

“Sebagai perantau, jika dengar kata Natal seperti dengar kata rumah. Natal memberi kesempatan untuk pulang, sejauh apapun berkelana. Sama seperti Natal yang dimaknai sebagai waktu ‘pulang’ ke Tuhan. Maksudnya, menjadi manusia yang lebih baik lagi,” terangnya.

Senada, Daniel Gotfried Sianturi juga memaknai Natal sebagai momentum pas untuk beribadah ke gereja bersama keluarga besar. “Natal adalah peringatan atas hari kelahiran Yesus sebagai juru selamat. Sebagai perayaan religius, wajar jika umat Nasrani bersuka cita,” ungkapnya, kemarin.

Lantaran merasa suka cita dirasakan hingga beberapa hari pasca-peringatan kelahiran Tuhan, ia berharap bisa mengambil jatah libur tambahan dari kantornya. “Kampung saya jauh di Medan sana. Kalau hanya diberi libur dua hari, hanya lelah di jalan,” tukas alumni Universitas Telkom Bandung tersebut.