Ant Man and the Wasp: Drama keluarga dengan eksekusi malas

Film ini tak menjual villain sekuat Thanos, naskah menggigit, atau kedalaman karakter. Ini tak ubahnya drama keluarga, yang dibuat Marvel.

Ant man and the Wasp./ Marvel Studios

Dari awal saya tak menaruh ekspektasi pada film—yang menurut kritikus TheWrap Alonso Duralde—dinilai sebagai proyek selingan semata. Duralde bahkan tak ragu menyebut film besutan Peyton Reed ini, lebih mirip suguhan drama keluarga ala Disney. Sekadar sajian yang menurutnya terlampau ringan, dinikmati sembari menunggu sekuel perang bubat “Avengers: Infinity War” keluar.

Seperti dugaan saya, film ini berlalu begitu saja tanpa kesan yang berarti. Dikisahkan, usai rampung bertempur bersama pasukan Avengers dalam “Captain America: Civil War” (2016), Scott Lang si Ant-Man (Paul Rudd) divonis sebagai tahanan rumah FBI. Ia didakwa melanggar Perjanjian Sokovia, lantaran bertarung tanpa mengantongi surat izin terlebih dahulu.

Praktis, sosok yang hanya berambisi menjadi superdad bagi putri tunggalnya Cassie Lang (Abby Ryder Fortson) tersebut, menjalani hari selama dua tahun dengan rutinitas jumud. Tidur sembilan jam, meringkuk di kamar mandi dua jam, duduk depan televisi, bermain drum, dan tiap akhir pekan menghabiskan waktu bersama Cassie. Semua dilakukan di dalam kediamannya.

Harapan satu-satunya segera merampungkan masa tahanan supaya bisa menggandeng anak ke kedai es krim. Namun, semua tak berjalan sesuai rencana. Tepatnya saat Hope van Dyne alias The Wasp (Evangeline Lilly) menculiknya, tiga hari jelang berakhirnya masa tahanan. Scott terikat dengan utang moral karena mencuri kostum ayah Hope, Hank Pym (Michael Douglas) dan berbuat onar dengan kostum tersebut. Ia merasa tak punya pilihan selain ikut dalam misi menyelamatkan Janet van Dyne, ibunda Hope.