Aroma eksploitasi di balik nikmatnya kopi luwak

Karena dugaan eksploitasi, organisasi People for the Ethical Treatment of Animals (PETA) mengimbau wisatawan di Bali tak minum kopi luwak.

Ilustrasi biji kopi./Foto Pixabay.com

Belum lama ini, organisasi People for the Ethical Treatment of Animals (PETA) mengeluarkan peringatan untuk wisatawan di Bali agar tak mengonsumsi kopi luwak. “Pemandu wisata di Bali sering menyesatkan wisatawan dengan mengklaim kopi luwak diperoleh dari kotoran musang liar,” ujar Wakil Presiden Senior PETA Jason Baker, seperti dikutip dari CNBC. “Padahal, kenyataannya sebagian besar kopi ini adalah produk dari penangkaran hewan-hewan tersebut dalam kondisi yang kejam di peternakan.”

Kenikmatan kopi luwak sudah tersohor bagi penikmat kopi. Situs kuliner dunia TasteAtlas, Jumat (15/3), menempatkan kopi luwak asal Indonesia di urutan ke-34 kopi terbaik di dunia dengan skor 3,8 poin skala 5 poin. Sedangkan di Asia Tenggara, kopi luwak ada di urutan ke-5 kopi terbaik.

Kopi luwak kerap disebut-sebut sebagai kopi termahal di dunia. Menurut TasteAtlas, kopi ini terbuat dari biji kopi yang dicerna dan dikeluarkan luwak—hewan dari jenis musang—lalu dicuci, digiling, dan dipanggang. Taste Atlas menyebut, ketika melintasi saluran pencernaan luwak, biji kopi dipercaya akan kehilangan astrigency-nya, yang membuat kopi menjadi lebih lembut, halus, dan tak terlalu pahit.

“Kopi ini diduga ditemukan pada abad ke-19, di masa kolonial Belanda, ketika petani dilarang memanen kopi untuk keperluan pribadi,” tulis TasteAtlas.

“Mereka secara tidak sengaja menemukan kotoran luwak mengandung biji kopi yang belum tercerna, yang kemudian dimanfaatkan untuk membuat kopi.”