Banyak orang ingin memiliki lebih banyak anak, tapi tak bisa mewujudkannya. Hambatannya bukan keinginan, melainkan tekanan ekonomi.
Banyak orang ingin memiliki lebih banyak anak, tapi tak bisa mewujudkannya. Hambatannya bukan prinsip 'child free' atau masalah keinginan, melainkan tekanan ekonomi, kondisi kesehatan, dan kekhawatiran terhadap masa depan dunia.
Temuan mengejutkan ini terungkap dalam survei global terbaru dari UNFPA, yang menyentuh akar persoalan krisis kesuburan modern — dan mengungkap betapa kompleksnya pilihan untuk membentuk keluarga hari ini.
Temuan tersebut membuka kenyataan bahwa keinginan untuk memiliki anak bukanlah masalah utama dalam krisis kesuburan dunia saat ini, melainkan terbatasnya pilihan dan dukungan yang membuat banyak orang tak bisa mewujudkan impian tersebut.
Lebih dari setengah responden menyebut faktor ekonomi sebagai penghambat utama. Mulai dari harga rumah yang makin tak terjangkau, kurangnya pilihan pengasuhan anak yang memadai, hingga ketidakpastian dalam pekerjaan menjadi alasan mereka menunda atau membatasi jumlah anak. Dalam konteks dunia yang terus berubah dan semakin kompleks, keputusan untuk memiliki anak tak lagi hanya soal kesiapan biologis, tapi juga kesiapan finansial dan psikologis.
Survei UNFPA ini dilakukan terhadap lebih dari 14.000 orang dari 14 negara di lima benua. Negara-negara tersebut dipilih untuk mewakili berbagai latar budaya, tingkat kesuburan, dan pendekatan kebijakan yang berbeda. Beberapa di antaranya adalah negara-negara dengan tingkat kelahiran terendah di dunia seperti Korea Selatan, dan negara dengan tingkat kelahiran tertinggi seperti Nigeria. Negara lain yang ikut disurvei termasuk Indonesia, India, Amerika Serikat, Brasil, Meksiko, Jerman, Italia, Swedia, Thailand, Hungaria, Afrika Selatan, dan Maroko.