Kata siapa krisis kesuburan dunia karena marak 'child free'?
Banyak orang ingin memiliki lebih banyak anak, tapi tak bisa mewujudkannya. Hambatannya bukan prinsip 'child free' atau masalah keinginan, melainkan tekanan ekonomi, kondisi kesehatan, dan kekhawatiran terhadap masa depan dunia.
Temuan mengejutkan ini terungkap dalam survei global terbaru dari UNFPA, yang menyentuh akar persoalan krisis kesuburan modern — dan mengungkap betapa kompleksnya pilihan untuk membentuk keluarga hari ini.
Temuan tersebut membuka kenyataan bahwa keinginan untuk memiliki anak bukanlah masalah utama dalam krisis kesuburan dunia saat ini, melainkan terbatasnya pilihan dan dukungan yang membuat banyak orang tak bisa mewujudkan impian tersebut.
Lebih dari setengah responden menyebut faktor ekonomi sebagai penghambat utama. Mulai dari harga rumah yang makin tak terjangkau, kurangnya pilihan pengasuhan anak yang memadai, hingga ketidakpastian dalam pekerjaan menjadi alasan mereka menunda atau membatasi jumlah anak. Dalam konteks dunia yang terus berubah dan semakin kompleks, keputusan untuk memiliki anak tak lagi hanya soal kesiapan biologis, tapi juga kesiapan finansial dan psikologis.
Survei UNFPA ini dilakukan terhadap lebih dari 14.000 orang dari 14 negara di lima benua. Negara-negara tersebut dipilih untuk mewakili berbagai latar budaya, tingkat kesuburan, dan pendekatan kebijakan yang berbeda. Beberapa di antaranya adalah negara-negara dengan tingkat kelahiran terendah di dunia seperti Korea Selatan, dan negara dengan tingkat kelahiran tertinggi seperti Nigeria. Negara lain yang ikut disurvei termasuk Indonesia, India, Amerika Serikat, Brasil, Meksiko, Jerman, Italia, Swedia, Thailand, Hungaria, Afrika Selatan, dan Maroko.
Tanggapan yang diberikan oleh responden mencerminkan beragam realitas yang terjadi di masing-masing negara. Di Korea Selatan, misalnya, tiga dari lima orang mengatakan bahwa alasan utama mereka menunda memiliki anak adalah kendala finansial. Namun, situasi berbeda terjadi di Swedia — negara dengan sistem dukungan orang tua yang sangat kuat, termasuk cuti orang tua berbayar hingga 480 hari per anak yang juga bisa dialihkan ke kakek-nenek. Di sana, kurang dari 20 persen responden mengaku alasan ekonomi menghambat rencana keluarga mereka. Meskipun demikian, angka kelahiran di Swedia tetap rendah, memperlihatkan bahwa dukungan kebijakan belum tentu mampu mengatasi semua tantangan.
Menurut Dr. Rebecca Zerzan, editor laporan UNFPA, ada banyak faktor yang membuat seseorang menunda atau mengurungkan niat memiliki anak. Di Swedia, misalnya, sepertiga responden mengaku bahwa membesarkan anak membutuhkan terlalu banyak energi dan waktu. Selain itu, kekhawatiran terhadap masa depan dunia juga menjadi alasan penting. Banyak orang, terutama generasi muda, merasa enggan membawa anak ke dunia yang mereka anggap tidak stabil — dihantui isu perubahan iklim, pandemi, konflik global, dan krisis ekonomi.
Secara global, satu dari empat responden menyebut masalah kesehatan sebagai hambatan memiliki anak, dan satu dari lima mengaku khawatir terhadap situasi dunia. Di beberapa negara seperti Nigeria dan Afrika Selatan, sepertiga pria menyatakan ingin memiliki empat anak atau lebih. Sebaliknya, di negara seperti Jerman, Italia, Korea Selatan, Thailand, dan Hungaria, hanya 5% atau kurang yang memiliki keinginan tersebut.
Di Amerika Serikat, 16% responden mengaku memiliki hambatan kesuburan, sementara di Meksiko — negara tetangganya — angka tersebut hanya setengahnya, yaitu 8%. Perbedaan ini menunjukkan bahwa faktor budaya, sistem kesehatan, dan dukungan sosial berpengaruh besar terhadap keputusan membentuk keluarga.
Temuan menarik lainnya dari laporan UNFPA adalah fakta bahwa meskipun banyak orang tidak memiliki jumlah anak yang diinginkan, hampir sepertiga responden mengatakan pernah mengalami kehamilan yang tidak direncanakan. Bahkan di Maroko dan Afrika Selatan, sekitar setengah dari mereka pernah mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Dan lebih dari setengahnya juga pernah mengalami situasi di mana mereka tidak bisa punya anak sesuai dengan waktu yang diinginkan.
Secara keseluruhan, satu dari delapan orang dalam survei ini pernah mengalami dua hal sekaligus: kehamilan yang tidak direncanakan dan kesulitan untuk memiliki anak sesuai harapan. Ini menggambarkan ketidakseimbangan dalam sistem reproduksi global — di mana sebagian orang merasa tidak punya kendali atas tubuh dan pilihan hidup mereka, baik karena keterbatasan akses terhadap kontrasepsi maupun dukungan sosial yang tidak memadai.
“Masalahnya adalah kurangnya pilihan, bukan kurangnya keinginan,” tegas Dr. Natalia Kanem, Direktur Eksekutif UNFPA. “Banyak sekali orang yang tidak mampu menciptakan keluarga yang mereka inginkan. Konsekuensinya sangat besar, baik bagi individu maupun masyarakat. Itulah krisis kesuburan yang sesungguhnya.”
UNFPA memperingatkan agar negara-negara tidak terjebak pada pendekatan kebijakan yang melihat kesuburan sebagai hal yang bisa dikendalikan seperti membuka atau menutup keran. Sejumlah negara seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan Turki pada dekade 1980-an secara aktif menurunkan tingkat kelahiran melalui kebijakan nasional. Namun, pada tahun 2015, kelima negara tersebut berbalik arah, berusaha mendorong warganya untuk memiliki lebih banyak anak. Ironisnya, hingga saat ini, semua negara tersebut memiliki tingkat kesuburan yang jauh di bawah dua anak per perempuan — angka yang dibutuhkan untuk mempertahankan jumlah penduduk.
UNFPA menyarankan pendekatan yang lebih inklusif dan berpusat pada manusia dalam menghadapi krisis ini. Kebijakan yang mendukung pilihan bebas dan terinformasi, seperti cuti orang tua berbayar, perawatan kesuburan yang terjangkau, dan edukasi reproduksi yang komprehensif, dinilai jauh lebih efektif dibanding pendekatan koersif.(skynews)


