Hustle culture dapat didefinisikan sebagai keadaan terlalu banyak bekerja dan menjadikannya sebagai gaya hidup.
“Kerja keras akan selalu terbayar, kesuksesan harus dibayar dengan rasa sakit, atau kamu baru bisa bersenang-senang ketika kamu sukses.” Seberapa sering kamu mendengar kata-kata usang yang tidak berguna solah-olah menjadi dorongan ketika kamu merasa penat? Rata-rata seseorang bahkan mendengar itu setidaknya dua kali di hidup mereka, tidak peduli terucap dari teman atau lingkungan keluarga.
Kalimat ini diyakini benar dan dapat memotivasi milenial atau gen Z untuk terus-terusan bekerja menggapai mimpi mereka.
Motivasi inilah yang juga menghasilkan budaya hustle culture di kalangan anak muda. Sayangnya terlalu banyak mendengarkan motivasi baik justru sebenarnya buruk?
Riset dari Taylor’s College Malaysia yang dimuat dalam website mereka menunjukkan banyak salah kaprah terkait hustle culture. Dalam standar modern, hustle culture dapat didefinisikan sebagai keadaan terlalu banyak bekerja dan menjadikannya sebagai gaya hidup. Tidak ada satu hari pun dalam hidup di mana kamu tidak mengerahkan kemampuan terbaik untuk bekerja dan berujung tidak memiliki kehidupan pribadi.
Menurut kamus, kata hustle memang didefinisikan sebagai tindakan yang penuh energi. Namun, apakah hustle menjadi berbahaya sebagai gaya hidup? Selama bertahun-tahun, terlalu banyak bekerja dianggap sebagai modernitas sampai kini dianggap sebagai hustle culture seperti apa yang tertulis dalam buku-buku yang dijual di toko, sosial media, atau pengusaha terkenal.