close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pelamar kerja./Foto Artapixel/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi pelamar kerja./Foto Artapixel/Pixabay.com
Peristiwa
Sabtu, 26 April 2025 06:16

“Ijazah itu hak pekerja…”

“Menahannya sama saja dengan menghalangi seseorang untuk berkembang atau memperbaiki kondisi ekonominya.”
swipe

Polisi akhirnya menyelidiki dugaan penahanan ijazah milik mantan karyawan CV Sentoso Seal di Surabaya, Jawa Timur, dengan memanggil pemilik perusahaan tersebut pada Kamis (24/4). Kasus berawal ketika 44 orang mantan karyawan CV Sentoso Seal melaporkan dugaan penahanan ijazah kepada kepolisian beberapa waktu lalu.

Wakil Wali Kota Surabaya Armuji dan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer sempat pula berkunjung ke perusahaan ini untuk menyelesaikan kasus tersebut. Noel—sapaan akrab Ebenezer—ingin memediasi, tetapi akhirnya menemui jalan buntu.

Selain di Surabaya, dugaan penahanan ijazah juga terjadi di perusahaan tour and travel di Pekanbaru, Riau. Hal itu terungkap usai anggota Komisi IV DPRD Kota Pekanbaru, Zulkardi, menerima laporan sebanyak 31 karyawan dan mantan pekerja di perusahaan tersebut.

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi mengatakan, penahanan ijazah menghambat seseorang dalam memperbaiki hidup.

“Ijazah itu hak seseorang,” kata Tadjuddin kepada Alinea.id, Kamis (24/4).

“Menahannya sama saja dengan menghalangi seseorang untuk berkembang atau memperbaiki kondisi ekonominya.”

Dia menekankan, ijazah sebagai bukti legalitas pendidikan dan kemampuan seseorang yang tidak boleh ditahan dengan dalih apa pun. Menurutnya, penahanan ijazah adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

Di sisi lain, pekerja sering kali terjebak dalam situasi ini karena kondisi ekonomi. Beberapa perusahaan bahkan mensyaratkan penyerahan ijazah asli jika pelamar tak mampu membayar sejumlah uang untuk mendapatkan pekerjaan.

“Misalnya, ada perusahaan yangmeminta uang Rp2 juta. Jika tidak bisa membayar, pelamar harus menyerahkan ijazah asli sebagai jaminan. Ini bentuk eksploitasi,” tutur Tadjuddin.

Dia menekankan, akar masalah ini terletak pada ketimpangan antara jumlah pencari kerja dan ketersediaan lapangan kerja. Banyaknya tenaga kerja produktif yang tidak terserap, menciptakan situasi di mana pelamar kerja bersedia menerima syarat apa pun demi mendapatkan pekerjaan.

“Perusahaan memanfaatkan kondisi ini untuk mendapatkan keuntungan. Pekerja yang sudah lama menganggur sering kali tidak punya pilihan selain menyerahkan ijazahnya, meskipun syarat tersebut merugikan mereka,” ujar Tadjuddin.

Dia mendukung pemberian hukuman bagi perusahaan yang menahan ijazah. Dia pun mengingatkan agar Kementerian Ketenagakerjaan memberikan perhatian khusus terhadap kasus-kasus seperti ini.

“Perusahaan yang melakukan praktik ini harus diberi sanksi karena sudah melanggar hak pekerja,” kata Tadjuddin.

“Selain itu, pekerja juga harus lebih berhati-hati. Sebaiknya hanya menyerahkan fotokopi ijazah yang sudah dilegalisasi, bukan ijazah asli.”

Meski begitu, Tadjuddin mengakui, tak semua kasus bisa dengan mudah diselesaikan lewat jalur hukum. Dalam beberapa situasi, kasus semacam ini bisa diselesaikan melalui mekanisme perdata atau musyawarah antara pekerja dan perusahaan.

Tadjuddin menyimpulkan, untuk menghilangkan praktik penahanan ijazah, perlu ada langkah-langkah strategis dari pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Pemerintah perlu meningkatkan penciptaan lapangan kerja dan memastikan perlindungan hukum bagi pekerja.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Payaman Simanjuntak menyebut, praktik penahanan ijazah sering dilakukan perusahaan sebagai bentuk antisipasi terhadap karyawan yang tiba-tiba keluar tanpa pemberitahuan.

“Ini mengganggu produksi. Makanya, ada perusahaan yang menahan ijazah agar pekerja tak pergi seenaknya,” ucap Payaman, Kamis (24/4).

Namun, dia juga menilai, penahanan ijazah sebaiknya tidak dilakukan. “Kalau pun dilakukan, harus ada ruang bagi karyawan untuk mengambil ijazahnya kapan pun dibutuhkan. Ini bukan praktik ideal, tapi realitas di lapangan sering begitu,” kata Payaman.

Menurut Payaman, solusi terbaik untuk mengatasi masalah ini adalah baik pekerja maupun perusahaan patuh pada perjanjian kerja. Payaman mengatakan, saat menerima seseorang menjadi karyawan, perusahaan harus membuat perjanjian kerja yang secara umum berisi hak dan kewajiban pekerja, serta kewenangan dan kewajiban pengusaha.

“Di samping itu, di perjanjian kerja atau di peraturan perusahaan dibuat ketentuan bagi karyawan yang mau berhenti bekerja atau mengundurkan diri, harus memberitahukan manajemen paling sedikit satu bulan sebelumnya,” tutur Payaman.

img
Muhamad Raihan Fattah
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan