Kisah nyai dan penularan budaya masa Hindia Belanda

Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Pieterszoon Coen membenci praktik pergundikan.

Praktik pergundikan masa Hindia Belanda berakhir setelah Belanda angkat kaki pada 1942. Alinea.id/Oky Diaz.

Trailer film Bumi Manusia yang diunggah di situs video Youtube sejak 5 Juli 2019 sudah ditonton lebih dari empat juta orang hingga 15 Juli 2019. Film tersebut baru akan tayang di bioskop pada 15 Agustus 2019.

Film ini diangkat dari novel pertama Tetralogi Buru, Bumi Manusia karya sastrawan terkemuka Pramoedya Ananta Toer. Tiga novel lainnya, yang ditulis Pram kala ia dibuang di kamp kerja paksa Pulau Buru, Maluku, yakni Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Karakter utama di novel ini adalah seorang pemuda Jawa yang cerdas, anak bupati bernama Minke. Selain Minke, tokoh di dalam novel yang berlatar belakang Kota Surabaya di masa kolonial ini ialah Nyai Ontosoroh.

Ontosoroh bernama asli Sanikem. Di usia 14 tahun, ia dijual oleh ayahnya sebagai bentuk sogokan kenaikan pangkat kepada Herman Mellema seorang pengusaha Belanda di Wonokromo. Ontosoroh lalu mendapat label sebagai gundik.

Meski dicap negatif, Ontosoroh tak mau disebut gundik. Ia belajar membaca, menulis, dan tata niaga. Ia juga belajar bahasa Belanda dan Melayu, serta budaya dan hukum Belanda. Ontosoroh mampu mengelola perusahaan, dan dihormati berkat kekayaan yang dihasilkan dari kemampuannya. Tak bisa dimungkiri, melalui tokoh Nyai Ontosoroh, Pram sudah mengubah citra negatif “nyai”.